HUKAMANEWS - Di Indonesia, isu korupsi bagaikan benalu yang menggerogoti sendi-sendi demokrasi dan pembangunan nasional. Ironisnya, tak jarang partai politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat justru terjerumus dalam lingkaran korupsi. Hal ini tak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Dalam waktu beriringan, upaya penegakan hukum terhadap koruptor di Indonesia masih menemui banyak hambatan. Lemahnya sistem hukum, intervensi politik, dan budaya impunitas menjadi faktor utama yang menghambat proses pemberantasan korupsi. Lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering kali menghadapi tekanan dan intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Politikus senior yang juga merupakan praktisi hukum Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., akan mengupas tema partai korup, benalu demokrasi, dan jalan berliku penegakan hukum di Indonesia dalam tulisan analisisnya berikut ini:
Baca Juga: Kisah Pelarian Harun Masiku: Dari Buronan KPK Hingga Marbot Masjid di Malaysia
Di tengah hiruk-pikuk kampanye politik, laksana alunan sumbang di tengah simfoni demokrasi, terngiang sindiran Nikita Khrushchev: "Politisi itu semuanya saja. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana."
Mirisnya, sindiran ini seolah menjadi potret kelam realitas politik kita hari ini.
Di tengah gempuran janji-janji manis para elite politik, rakyat kecil kian terpinggirkan. Hak-hak mereka yang seharusnya diprioritaskan, seolah tak ubahnya butiran pasir di lautan ambisi para penguasa. Pancasila dan UUD 1945, landasan moral dan konstitusi bangsa, seakan diabaikan demi kepentingan segelintir orang.
Baca Juga: Di Balik Alasan Tokopedia dan TikTok Shop PHK Massal Ratusan Karyawan
Reformasi yang digadang-gadang membawa perubahan, justru melahirkan ironi. Produk hukum yang bertebaran bagaikan fatamorgana, tak mampu membendung laju korupsi yang kian menggerogoti sendi-sendi bangsa.
Para elite politik, alih-alih menjadi pelayan rakyat, justru terjebak dalam lingkaran setan korupsi dan memperkaya diri.
Kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik bukanlah hal baru. Korupsi di dalam partai politik sering kali melibatkan elite partai yang memiliki akses besar terhadap sumber daya negara. Mereka menggunakan posisi mereka untuk mengumpulkan kekayaan pribadi melalui berbagai cara, seperti menerima suap, penggelapan anggaran, dan penyalahgunaan wewenang. Kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh partai sering kali menjadi sorotan media, namun kenyataannya, banyak kasus yang tidak terungkap dan dibiarkan begitu saja.
Baca Juga: Pernyataan Mengejutkan Jimly Asshiddiqie Terkait Putusan MA, Bikin Kaesang Pangarep Gigit Jari
Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, sering kali terjerat dalam praktik korupsi yang sistematis. Dana kampanye yang besar, kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan, serta budaya politik yang transaksional, membuat korupsi menjadi sesuatu yang hampir tak terhindarkan. Praktik ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah hingga ke tingkat daerah.
Di sisi lain, partai politik kini diwarnai oleh para elite tanpa rekam jejak profesional. Mereka sibuk beradu argumen, membahas hukum, ekonomi, dan kemiskinan, namun realitas rakyat kian terpuruk. Tanpa solusi nyata, rakyat hanya disuguhi pertunjukan politik yang tak berujung pangkal.
Artikel Terkait
Megawati, Oposisi, Politik Dendam dan Kebencian
Patung Melik Nggendhong Lali, Butet dan Megawati
Elite Toksik dan Badut Politik Pasca Pilpres 2024: Drama Koalisi dan Pragmatisme Kekuasaan
Bekingan Pejabat, Elite Korup, dan Penegakan Hukum yang Lemah
Rakernas V PDI Perjuangan, Kekecewaan Megawati, dan Tantangan Demokrasi
Skandal Elite Korup dan Kutukan Rakyat Jelata, Sebuah Refleksi
Membongkar Akar Korupsi di Indonesia: Sistem Cacat, Penegakan Hukum Lemah, dan Elite Serakah
Keadilan di Indonesia, Mimpi Reformasi yang Terkikis Korupsi