HUKAMANEWS - Keadilan di negeri ini kadang terasa seperti panggung sandiwara: para aktornya berseragam rapi, tapi moralnya compang-camping. Ketika hakim bisa tergoda amplop, polisi dan jaksa menimbang nurani dengan kalkulator, kita patut bertanya: di mana letak kejujuran itu disembunyikan?
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli,SH., MH, dalam catatan analisisnya menulis dengan nada getir: bahwa korupsi di meja hijau bukan sekadar kejahatan hukum, melainkan pengkhianatan spiritual. Menurut mantan Ketua Komisi III DPR RI ini, ketika hukum kehilangan ruh, keadilan pun tak lebih dari formalitas yang dijual di meja negosiasi. Berikut catatan lengkapnya.
***
Sidang suap sesama hakim jadi cermin getir dunia peradilan: gaji tinggi tak menjamin integritas tanpa revolusi moral.
PADA Rabu (22/10/2025) sore, suasana ruang sidang Hatta Ali di Pengadilan Tipikor Jakarta mendadak hening. Hakim Effendi, yang memimpin jalannya persidangan, tiba-tiba menunduk dan menyeka air mata. Di hadapannya duduk para terdakwa — bukan politisi, bukan pengusaha, melainkan rekan seprofesi, sesama penjaga palu keadilan. Mereka adalah hakim-hakim yang selama ini dipercaya menjadi benteng moral terakhir bangsa. Kini, ironinya, mereka duduk di kursi pesakitan karena menerima suap miliaran rupiah dalam kasus vonis bebas tiga korporasi raksasa ekspor CPO.
“Selama saya jadi hakim, inilah sidang paling berat untuk saya,” ujar Effendi lirih, suaranya bergetar. Ia mengenal baik para terdakwa, pernah meniti karier bersama sejak muda. Kini, ia harus memutuskan nasib orang-orang yang dulu berjalan bersisian dengannya dalam sumpah profesi yang sama.
Baca Juga: Gempa M6,2 Guncang NTT Dini Hari, BMKG Ungkap Penyebab dan Imbau Warga Tetap Waspada
Adegan itu menjadi potret paling getir dari wajah lembaga peradilan kita: ketika mereka yang disebut sebagai “wakil Tuhan di muka bumi” justru tersandung oleh godaan paling duniawi — uang. Air mata di ruang sidang itu tak hanya menandai kesedihan personal, tetapi juga meneteskan luka etik yang dalam di tubuh peradilan. Sebab keadilan kehilangan maknanya ketika nurani tergadaikan, dan hukum berhenti menjadi panglima saat hakimnya menjual kebenaran.
Kasus suap senilai Rp40 miliar yang melibatkan para hakim tersebut menjadi simbol betapa rapuhnya moral penjaga hukum di negeri ini. Mereka yang seharusnya menegakkan kebenaran dengan mata tertutup, justru membuka matanya lebar-lebar untuk menghitung dolar. Uang suap itu mengalir dalam bentuk dolar AS dan dolar Singapura, disalurkan melalui pengacara korporasi untuk membeli putusan bebas. Dan ketika harga keadilan sudah bisa dinegosiasikan, sejatinya kita sedang menyaksikan pelecehan paling brutal terhadap makna hukum itu sendiri.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya meningkatkan kesejahteraan penegak hukum. Gaji hakim, jaksa, dan polisi sudah dinaikkan. Fasilitas pun diperbaiki. Namun realitas menunjukkan, uang ternyata bukan vaksin moral. Dalam banyak kasus, kesejahteraan yang meningkat tidak otomatis menumbuhkan integritas. Lembaga penegak hukum kita masih saja dihantui praktik pemerasan, pungutan liar, dan permainan di balik meja hijau. Seolah, semakin tebal dompet, semakin tipis rasa malu.
Inilah paradoks terbesar dalam sistem hukum kita: kejahatan justru lahir dari ruang yang seharusnya menegakkan kebenaran. Hakim yang seharusnya adil menjadi tawar-menawar. Jaksa yang semestinya objektif menjadi perpanjangan tangan kepentingan. Polisi yang ditugaskan melindungi masyarakat justru kerap memeras masyarakat kecil demi tambahan tak halal.
Menurut data Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2023 tercatat 791 kasus korupsi dengan lebih dari 1.600 tersangka. Namun di tahun berikutnya, angka penindakan justru merosot lebih dari separuh. Bukan karena bangsa ini mendadak jujur, melainkan karena keberanian aparat untuk menindak kawan sejawat makin menipis.
Transparency International juga mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 34 pada 2024—terendah sejak delapan tahun terakhir. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi refleksi bahwa publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Masyarakat menyaksikan bagaimana pelaku korupsi dengan mudah mendapat keringanan, sementara rakyat kecil kerap diproses hukum tanpa ampun.
Artikel Terkait
“Mental Stunting” Pejabat
Makan Bergizi Gratis, dari Niat Mulia Hingga Krisis Tata Kelola
Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan
DPR dan Mutu Rendah Legislasi
Satu Tahun Prabowo–Gibran: Antara Janji, Diplomasi, dan Cermin Realitas Rakyat
Narasi Jahat di Balik Upaya Sistematis Menjatuhkan Jokowi dan Keluarganya