Membaca Wajah 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Antara Euforia Kekuasaan, Elitisme, dan Antiklimaks Reformasi

photo author
- Jumat, 15 Agustus 2025 | 22:09 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS - Delapan dekade setelah proklamasi, Indonesia tampak gagah di mata dunia namun menyimpan luka di dalam negeri. Euforia kemerdekaan sering menutupi kenyataan bahwa jurang ketimpangan, korupsi yang jinak di hadapan kekuasaan, serta kebijakan publik yang tak membumi masih membelenggu rakyat.

Pengamat Hukum dan Politik, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., menilai bahwa usia kemerdekaan yang kian matang seharusnya membawa kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan justru mempertajam elitisme dan kompromi politik. Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong menjadi potret antiklimaks pemberantasan korupsi yang mengikis harapan publik. Sementara itu, maraknya bendera One Piece yang dikibarkan diam-diam di sudut kampung adalah tanda bahwa suara rakyat kecil kian keras menuntut keadilan yang sejati—keadilan yang selama ini hanya dijanjikan, tapi belum benar-benar diwujudkan.

***

DELAPAN PULUH TAHUN merdeka, Indonesia berdiri dengan gagah di panggung dunia, tetapi rapuh di ruang dalam. Kita memiliki bendera, lagu kebangsaan, dan segudang seremoni. Namun, di balik keriuhan perayaan, wajah kemerdekaan itu menyimpan kerut yang dalam: ketimpangan sosial, ekonomi yang rapuh, penegakan hukum yang pilih kasih, dan drama politik yang seakan tak pernah lelah mencari panggung.

Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR RI, Jumat (15/8/2025), mengusung tema Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera. Di awal, ia mengajak rakyat menghargai jasa para pemimpin terdahulu—dari Soekarno hingga Joko Widodo—seraya menegaskan transisi kekuasaan berjalan mulus. Ia memaparkan capaian: pertumbuhan ekonomi 5,12 persen di tengah gejolak global, investasi Rp942 triliun yang menyerap 1,2 juta pekerja, surplus beras 4 juta ton, dan program Makan Bergizi Gratis untuk 20 juta anak dan ibu hamil setiap hari. Bahkan, 3,1 juta hektare sawit ilegal telah dikuasai kembali dan 1.063 tambang ilegal ditindak.

Capaian itu terdengar impresif di podium. Tetapi, pertanyaannya: apakah data dan keberhasilan yang diklaim pemerintah sudah benar-benar menjawab luka lama bangsa ini? Angka pertumbuhan ekonomi, misalnya, tak selalu sejalan dengan pemerataan. UMKM masih terseok mengakses pasar dan modal, sementara industri besar nyaman bernaung di bawah payung kekuasaan. Surplus beras memang membanggakan, tapi di pasar rakyat, harga masih rentan dimanipulasi—sebuah masalah yang bahkan diakui Presiden sendiri.

Secara sosial, jurang kaya-miskin kian menganga. Kota-kota besar dipenuhi pusat belanja megah, sementara di gang sempit, warga masih pusing mencari uang untuk membeli beras atau membayar listrik. Di media sosial, gaya hidup pejabat dan selebritas politik justru semakin memamerkan jarak itu. Tak heran, simbol perlawanan seperti bendera bajak laut “Straw Hat” One Piece kerap muncul di demonstrasi—pertanda rakyat mulai jengah dengan elitisnya politik.

Kesehatan dan pendidikan memang disebut sebagai prioritas. Pidato Prabowo memuat rencana membangun 100 Sekolah Rakyat setiap tahun, menambah prodi kedokteran, dan merenovasi ribuan sekolah. Tapi di banyak daerah, puskesmas masih kekurangan tenaga, sekolah masih kekurangan guru, dan ibu hamil di pelosok masih kesulitan mendapatkan layanan kesehatan. Data capaian infrastruktur memang rapi di kertas pidato, namun kualitas layanan sering tak mengikuti.

Dari semua wajah kemerdekaan, penegakan hukum adalah cermin yang paling retak. Prabowo menegaskan “tidak ada yang kebal hukum, termasuk pejabat atau anggota partai,” namun publik masih menyaksikan inkonsistensi. Pemberian amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong menegaskan bahwa hukum di negeri ini masih bisa dinegosiasikan jika menyentuh lingkar elite. Ironisnya, ini terjadi di tengah klaim pemerintah berhasil mengamankan Rp300 triliun anggaran rawan korupsi.

Kebijakan publik pun kerap lahir dari ruang rapat ber-AC ketimbang dialog dengan rakyat. Proyek-proyek besar—dari pembukaan jutaan hektare sawah baru hingga pembentukan 80.000 koperasi desa—menjadi headline, tapi jarang disertai mekanisme kontrol yang kuat agar tak berhenti sebagai seremoni pencanangan.

Drama politik, seperti biasa, tetap mengiringi. Alih-alih mengoptimalkan energi untuk reformasi substantif, sebagian elite lebih sibuk mempertahankan citra dan posisi. Rakyat hanya menjadi penonton setia serial politik yang alurnya berulang: saling serang, bagi-bagi jabatan, lalu kompromi di belakang layar.

Kini, di usia 80 tahun kemerdekaan, kita patut bertanya: kemerdekaan ini milik siapa? Apakah ia benar-benar milik rakyat, atau hanya panggung bagi elite untuk berganti kostum dan peran? Sejarah mencatat, kemerdekaan lahir dari perjuangan kolektif, tapi setelah delapan dekade, banyak janji kemerdekaan justru tersandera oleh politik yang tak beranjak dari lingkaran elitisme.

Harapan tentu belum padam. Di balik bendera One Piece yang berkibar, ada pesan rakyat yang tak mau lagi menjadi penonton. Mereka menuntut pemimpin yang membumi, kebijakan yang adil, hukum yang tegak tanpa pandang bulu, dan pemberantasan korupsi yang tidak bisa dinegosiasikan.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya atau orang-orang berintegritas. Yang kurang adalah keberanian politik untuk memutus mata rantai elitisme dan menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan. Kemerdekaan sejati hanya akan hadir ketika politik melayani rakyat, ekonomi tumbuh merata, kesehatan dan pendidikan terjangkau, hukum tak tunduk pada kekuasaan, dan korupsi benar-benar menjadi musuh bersama.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X