HUKAMANEWS - Gelombang narasi negatif terhadap mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya belakangan ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Isu-isu yang tidak terverifikasi, seperti tuduhan ijazah palsu dan rekayasa politik, merebak tanpa dasar yang kuat.
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH. dalam catatan analisis politiknya menyoroti munculnya pola sistematis pembunuhan karakter yang berpotensi mencederai demokrasi. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan, bila fitnah dibiarkan menjadi alat politik, maka yang hancur bukan hanya reputasi individu, melainkan kepercayaan publik terhadap negara. Berikut catatan lengkapnya:
***
Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029.
SEPULUH TAHUN kepemimpinan Presiden Joko Widodo adalah fase paling dinamis dalam sejarah modern Indonesia. Dalam periode itu, bangsa ini menyaksikan percepatan pembangunan infrastruktur, transformasi digital, dan ketegasan diplomasi luar negeri yang menegaskan kedaulatan. Namun, begitu kekuasaan berpindah tangan, justru muncul gelombang narasi yang berupaya menggugat seluruh capaian tersebut dengan fitnah dan disinformasi yang sistematis.
Kasus “ijazah palsu” misalnya, menjadi contoh paling mencolok bagaimana tuduhan tanpa dasar bisa berkembang liar di ruang publik. Berulang kali Mahkamah Konstitusi, perguruan tinggi, dan lembaga hukum menyatakan tidak ada kejanggalan, namun isu itu terus dihidupkan seolah-olah kebenaran bisa ditentukan oleh opini, bukan fakta hukum. Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya ruang digital dikapitalisasi oleh kepentingan politik yang ingin menggiring persepsi publik.
Setiap keberhasilan selalu punya bayangan. Ketika kekuasaan mendekati akhir, muncul kelompok yang ingin menulis ulang sejarah dengan tinta negatif. Mereka tidak bicara data, tetapi menebar narasi: bahwa semua pencapaian hanyalah pencitraan. Di era media sosial, satu unggahan viral bisa menghapus kerja keras satu dekade. Inilah tantangan terbesar pemerintahan pasca-Jokowi: menjaga rasionalitas publik agar tidak larut dalam gelombang disinformasi yang diproduksi secara sistemik.
Fakta menunjukkan, di bawah kepemimpinan Jokowi, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen per tahun meski dunia dilanda pandemi dan krisis energi global (BPS, 2024). Pembangunan infrastruktur masif — dari jalan tol, bendungan, hingga kawasan industri baru — menjadi fondasi pemerataan ekonomi. Sementara itu, kebijakan hilirisasi mineral memperlihatkan arah baru kemandirian nasional. Tidak berlebihan bila Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan policy resilience terbaik di kawasan (World Bank, 2023).
Di kancah global, wibawa Indonesia meningkat. Jokowi tampil sebagai pemimpin Asia Tenggara yang berani berbicara lugas kepada kekuatan besar dunia, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok. Ketika krisis Rusia–Ukraina memanas, Jokowi satu-satunya pemimpin Asia yang berani melakukan misi perdamaian ke Kyiv dan Moskow. Di tengah tekanan politik global, ia tidak gentar menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam mengambil sikap (Kompas, 2022).
Namun kini, ketika masa jabatan telah usai, muncul gelombang fitnah baru yang diarahkan bukan hanya kepada Jokowi, melainkan juga kepada keluarganya. Dari isu bisnis, relasi politik, hingga gosip pribadi—semuanya diorkestrasi dengan pola yang terukur. Banyak pengamat menilai, ini bukan sekadar kritik, melainkan character assassination yang didesain untuk mematikan peluang politik keluarga Jokowi di 2029.
Pertanyaannya: mengapa mereka begitu takut? Apakah karena elektabilitas keluarga Jokowi, terutama Gibran Rakabuming Raka, masih tinggi dalam berbagai survei nasional? Ataukah karena kekuatan moral dan kedekatan Jokowi dengan rakyat masih dianggap ancaman bagi peta politik lama yang oligarkis? Jika benar demikian, maka fitnah dan disinformasi itu tak lain adalah bentuk ketakutan terhadap persaingan sehat dalam demokrasi.
Baca Juga: Skandal Jet Pribadi KPU, DPR Siap Bongkar Dugaan Pemborosan Dana Publik dari Balik Langit Mewah
Artikel Terkait
“Mental Stunting” Pejabat
Dari Demonstrasi ke Meja Legislasi: RUU Perampasan Aset dan Ujian Moral Elite
Reshuffle Babak Tiga: Prabowo dan Kabinet yang (Tak Kunjung) Berbenah
Makan Bergizi Gratis, dari Niat Mulia Hingga Krisis Tata Kelola
Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan
DPR dan Mutu Rendah Legislasi
Satu Tahun Prabowo–Gibran: Antara Janji, Diplomasi, dan Cermin Realitas Rakyat