HUKAMANEWS - Ketika panggung politik lebih ramai oleh wajah-wajah populer ketimbang pemikir kebijakan, mutu legislasi pun terjun bebas. Parlemen yang seharusnya menjadi benteng konstitusi justru berubah menjadi panggung pencitraan dan transaksi.
Dalam catatan analisis politiknya, Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., pengamat hukum dan politik sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI, menelanjangi akar krisis legislasi di negeri ini—dari rekrutmen pragmatis partai hingga DPR yang kian kehilangan akal sehat politiknya. Berikut ini tulisan lengkapnya.
***
Ketika popularitas mengalahkan kapasitas, parlemen kehilangan akal sehat. Legislasi tergesa lahir, demokrasi pun tersesat di jalan pencitraan.
DEMOKRASI Indonesia tampak semarak di permukaan, tetapi di balik gemerlap pemilu, nalar politik perlahan meredup. Parlemen, yang seharusnya menjadi rumah kebijaksanaan bangsa, kini lebih sering berfungsi sebagai panggung pencitraan. Kursi di Senayan bukan lagi hasil dari proses kaderisasi ideologis, melainkan dari kompetisi popularitas.
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra bahkan menilai kualitas DPR terus menurun karena partai politik lebih sibuk mengejar elektabilitas ketimbang kapasitas. “Yang dicari bukan yang bisa berpikir, tapi yang dikenal,” ujarnya (Kompas.TV, 6/9/2025). Kritik itu menohok dan menggambarkan persoalan mendasar dalam tubuh demokrasi kita: partai-partai menjelma agen selebritas, bukan institusi pencetak negarawan.
Fenomena rekrutmen pragmatis ini menjelaskan mengapa parlemen kini diisi oleh artis, influencer, dan pengusaha—banyak di antaranya minim pemahaman tentang legislasi dan konstitusi. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat, 43,6 persen anggota DPR periode 2024–2029 adalah wajah baru, sebagian besar berasal dari luar dunia politik. Regenerasi seharusnya membawa energi baru, namun yang terjadi justru degradasi kapasitas.
Di bawah bayang-bayang politik pencitraan, proses legislasi pun terjebak dalam logika kecepatan dan kepentingan. Undang-undang disusun dengan tergesa, tanpa riset yang memadai, tanpa partisipasi publik yang bermakna. Demokrasi pun tersesat di antara kalkulasi suara dan transaksi kuasa.
Cermin Buram Mutu Legislasi
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini merilis data yang patut menjadi alarm nasional. Sepanjang Januari–September 2025, MK mengeluarkan 196 putusan pengujian undang-undang (PUU). Dari jumlah itu, 26 dikabulkan—menandakan ada dua lusin produk hukum yang terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Angka 13 persen itu mungkin tampak kecil di atas kertas, tetapi di baliknya tersimpan ironi besar: rendahnya kualitas legislasi di republik ini.
Contoh paling mutakhir adalah UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). MK membatalkan sejumlah pasal karena dinilai “gagal memahami konstitusi.” Salah satunya, pasal yang memaksa seluruh pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta Tapera. Konsep “tabungan wajib” ini jelas menyalahi prinsip sukarela dan mengaburkan tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas tempat tinggal. Negara seolah hanya menjadi pengumpul dana, sementara beban sosial dialihkan ke rakyat.
Kasus serupa muncul pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang beberapa pasalnya berpotensi membungkam kebebasan berekspresi—hak dasar yang dijamin konstitusi. Deretan putusan MK ini menunjukkan bahwa banyak undang-undang disusun tanpa uji etik, tanpa kajian akademik yang matang, dan tanpa kesadaran konstitusional.
Rendahnya mutu legislasi juga tampak dari kinerja DPR. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat, dari 263 rancangan undang-undang dalam Prolegnas 2019–2024, hanya sekitar 10 persen yang berhasil disahkan. Itu pun sebagian bermasalah secara substansi. Sementara itu, gaya hidup mewah, tunjangan besar, dan citra elitis DPR menambah ironi: parlemen yang sibuk mengatur hak sendiri, tetapi gagal memenuhi hak rakyat.
Artikel Terkait
“Mental Stunting” Pejabat
Dari Demonstrasi ke Meja Legislasi: RUU Perampasan Aset dan Ujian Moral Elite
Reshuffle Babak Tiga: Prabowo dan Kabinet yang (Tak Kunjung) Berbenah
Makan Bergizi Gratis, dari Niat Mulia Hingga Krisis Tata Kelola
Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan