HUKAMANEWS – Indonesia, negara yang dikenal dengan kekayaan alam dan budayanya, ternyata menyimpan paradoks yang mencengangkan. Sejak dimulainya era reformasi pada tahun 1998, harapan masyarakat akan terciptanya keadilan yang merata dan pemerintahan yang bersih dari korupsi begitu tinggi.
Namun, realita yang terjadi justru sebaliknya. Keadilan menjadi barang mewah yang sulit diakses oleh rakyat jelata, sementara korupsi tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.
Politikus senior dan praktisi hukum Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., mempunyai catatan kritis terhadap kian menjauhnya hukum dari keadilan di negeri ini. Juga polah elite yang mengangkangi hukum demi ambisi kelompok dan pribadi. Simak tulisannya berikut ini:
Baca Juga: Sisi Gelap Dunia Rental Mobil, Harus Keluarkan Kocek Jutaan Rupiah Untuk Tebus Mobil Yang Hilang
Keadilan, bagaikan mutiara langka di negeri ini. Di tengah hiruk pikuk reformasi, harapan rakyat akan keadilan kian pudar. Alih-alih keadilan yang merata, orde reformasi justru melahirkan barisan koruptor baru.
Semangat reformasi yang digaungkan di tahun 1998 bagaikan mimpi indah yang terbentang di depan mata. Rakyat berbondong-bondong turun ke jalan, menuntut perubahan dan keadilan yang lebih baik. Harapan akan masa depan yang cerah menyelimuti negeri ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, mimpi indah itu perlahan memudar. Keadilan yang dibayangkan tak kunjung terwujud. Korupsi, seperti benalu yang menempel erat, terus menggerogoti sendi-sendi bangsa.
Baca Juga: Hasto Bakal Gugat 3 Penyidik KPK ke Dewas dan Ajukan Praperadilan! Langgar Proses Hukum?
Orde reformasi yang diharapkan membawa perubahan, justru melahirkan barisan koruptor baru. Kasus demi kasus korupsi terbongkar, menelan dana rakyat yang tak sedikit. Para pejabat, yang seharusnya menjadi panutan, justru mencoreng nama baik bangsa dengan perbuatan tercela mereka.
Data dari Transparency Internasional menyebut Indonesia menjadi lima besar negara terkorup di ASEAN pada 2023. Rata-rata skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global 43 point pada tahun 2023. Survey IPK ini melibatkan 180 Negara.
Ironisnya, korupsi di era Reformasi tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti di masa Orde Baru, tetapi semakin terang-terangan dan melibatkan jumlah uang yang lebih besar. Kasus-kasus besar seperti korupsi e-KTP, suap impor daging sapi, hingga skandal Bank Century menunjukkan betapa parahnya kondisi ini.
Baca Juga: Adu Canggih Dua Platform Smart TV: Android TV vs Google TV, Mana yang Juara?
Terbaru, pengungkapan korupsi penambangan timah mencapai Rp 300 triliun dan kasus Emas Antam oleh Kejaksaan Agung.
Selain kasus megakorupsi di atas, masih banyak kasus korupsi yang dilakukan para pejabat/elite Parpol yang masih mengendap karena memiliki relevansi terhadap kebutuhan politik dan kekuasaan. Penegakan hukum terahadap kasus-kasus yang berkelidan dengan elite parpol dan kekuasaan seringkali berselimut kabut dan tidak transparan.
Artikel Terkait
Pilpres 2024, Siapa 'Membakar' Rumah PDI Perjuangan?
Megawati, Oposisi, Politik Dendam dan Kebencian
Patung Melik Nggendhong Lali, Butet dan Megawati
Elite Toksik dan Badut Politik Pasca Pilpres 2024: Drama Koalisi dan Pragmatisme Kekuasaan
Bekingan Pejabat, Elite Korup, dan Penegakan Hukum yang Lemah
Rakernas V PDI Perjuangan, Kekecewaan Megawati, dan Tantangan Demokrasi
Skandal Elite Korup dan Kutukan Rakyat Jelata, Sebuah Refleksi
Membongkar Akar Korupsi di Indonesia: Sistem Cacat, Penegakan Hukum Lemah, dan Elite Serakah