HUKAMANEWS – Setahun pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi cermin betapa peliknya menyeimbangkan citra dan kinerja. Janji besar tentang keberpihakan pada rakyat kini diuji oleh realitas ekonomi dan politik yang sering berseberangan dengan harapan publik.
Pengamat hukum dan politik, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisisnya menegaskan bahwa pemerintahan bukan sekadar panggung diplomasi, melainkan ujian moral dan konsistensi hukum dalam menjaga keadilan sosial. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menulis, di sinilah rakyat menanti, bukan sekadar laporan yang indah di atas kertas, melainkan pembuktian nyata. Berikut catatan lengkapnya.
***
Citra diplomasi yang gemerlap dan angka kepuasan publik yang tinggi belum cukup menjawab keresahan rakyat. Pemerintahan Prabowo–Gibran memasuki tahun kedua dengan tantangan besar: menepati janji dan membumikan kebijakan.
HARI INI, 20 Oktober 2025, genap satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Di atas kertas, capaian tampak menjanjikan. Survei Poltracking (Oktober 2025) mencatat tingkat kepuasan publik mencapai 78,1 persen, angka tertinggi dibandingkan periode awal dua presiden sebelumnya. Namun, di balik angka itu, terhampar paradoks: kepuasan tinggi, tetapi kepercayaan terhadap efektivitas kebijakan masih rapuh. Banyak rakyat merasakan janji belum menjelma jadi kenyataan.
Prabowo tampil menonjol di panggung global. Dalam setahun, ia melakukan lebih dari 20 kunjungan kenegaraan, menandatangani kerja sama strategis, dan membangun citra sebagai pemimpin diplomatis dan visioner. Media asing seperti CNBC Indonesia dan The Jakarta Post menilai gaya kepemimpinannya kini “lebih sejuk, pragmatis, dan terbuka dibanding masa kampanye.” Dalam konteks geopolitik dunia yang kian bergejolak, langkah ini patut diapresiasi. Namun diplomasi gemerlap tak bisa menutupi kenyataan bahwa di dalam negeri, tantangan masih menumpuk — mulai dari harga pangan hingga penegakan hukum.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi pangan mencapai 3,12 persen (September 2025), naik dibanding periode yang sama tahun lalu. Program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai ikon pemerintahan ini pun tersendat dalam distribusi dan pengawasan. The New York Times menyorot program ini dengan tajuk tajam: “Political ambition on a child’s plate.” Kritik itu menyentuh hal mendasar — bahwa kebijakan publik tidak boleh berhenti pada seremoni atau janji kampanye.
Di sisi ekonomi makro, pertumbuhan 5,05 persen (Triwulan II–2025) patut disyukuri. Namun pengangguran terbuka masih 4,8 persen, dan pengangguran muda mencapai 14,2 persen (BPS). Angka ini menandakan jurang antara narasi kemajuan dan realitas lapangan kerja yang sempit. Di banyak daerah, anak muda tetap terjebak dalam kerja informal tanpa jaminan sosial yang memadai. Di sinilah pemerintah perlu hadir lebih konkret, bukan sekadar dengan slogan “Indonesia Emas 2045”.
Baca Juga: Indonesia Panas Mendidih, BMKG Catat Suhu Tembus 37,6°C, Waspadai Cuaca Ekstrem hingga Awal November
Masalah lain adalah melemahnya fungsi kontrol demokrasi. Dengan terbentuknya koalisi besar yang menguasai hampir seluruh kursi parlemen, suara oposisi nyaris tak terdengar. BBC Indonesia mencatat, “Demokrasi Indonesia kini menyerupai orkestra tunggal—semua memainkan nada yang sama.” Tanpa keseimbangan kekuasaan, potensi penyimpangan kian besar. Dalam sistem demokrasi modern, oposisi bukan ancaman, melainkan penyangga agar kekuasaan tidak buta arah.
Lebih memprihatinkan lagi, komitmen pada keberlanjutan lingkungan tampak kabur. Di tengah retorika transisi energi, pemerintah justru membuka kembali izin ekspor pasir laut dan mempercepat ekspansi tambang nikel tanpa kajian sosial-ekologis memadai. Data WALHI (2025) menunjukkan, 62 persen konflik agraria tahun ini bersumber dari sektor tambang dan perkebunan. Sementara di forum internasional, Indonesia berbicara lantang soal ekonomi hijau. Ironi ini mencerminkan ketidaksinkronan antara panggung diplomasi dan kebijakan nasional.
Baca Juga: iPhone 17 Resmi Bisa Dipesan di Indonesia, Ini Daftar Harga dan Cara Ordernya
Artikel Terkait
Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi
“Mental Stunting” Pejabat
Dari Demonstrasi ke Meja Legislasi: RUU Perampasan Aset dan Ujian Moral Elite
Reshuffle Babak Tiga: Prabowo dan Kabinet yang (Tak Kunjung) Berbenah
Makan Bergizi Gratis, dari Niat Mulia Hingga Krisis Tata Kelola
Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan
DPR dan Mutu Rendah Legislasi