Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

photo author
- Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

 

HUKAMANEWS - Ada yang terasa ganjil di Morowali: sebuah bandara sibuk mengatur lalu lintas pesawat, tetapi negara terlihat seperti tamu yang belum dipersilakan masuk. Seolah ruang udara itu punya otoritas lain, selain republik.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH. dalam catatan analisisnya menyebut fenomena ini sebagai “kedaulatan yang dilepas begitu saja, bukan dicuri.” Ia mengingatkan, kedaulatan tidak roboh oleh tekanan, melainkan oleh keberanian untuk diam. Ironinya, pintu masuk orang dan barang tetap bekerja tanpa kendali negara, sementara pemerintah masih berkutat pada klarifikasi dan rapat koordinasi. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan, jika negara hanya berani hadir lewat wacana, jangan kaget bila suatu hari republik harus meminta izin untuk masuk ke wilayahnya sendiri.

Berikut catatan lengkapnya.

***

Bandara IMIP beroperasi tanpa kontrol negara. Kedaulatan absen, korporasi justru berkuasa—seolah republik hanya tamu di wilayahnya sendiri. 

KEDAULATAN negara tidak hanya diukur dari kemampuan mengelola wilayah darat dan laut. Ruang udara pun merupakan yurisdiksi publik yang hanya boleh dikelola oleh negara. Di Morowali, Sulawesi Tengah, prinsip ini dipertaruhkan. Bandara internasional yang dibangun di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) beroperasi, namun negara justru hadir seolah sebagai penonton, bukan pemegang otoritas.

Baca Juga: Gus Yahya Dipecat dari Kursi Ketum PBNU, Tapi Menolak Mundur: Drama Internal Makin Memanas

Bangunan fisiknya berdiri megah. Pesawat hilir-mudik mengangkut tenaga kerja dan tamu perusahaan namun administrasi penerbangan tidak sepenuhnya berada dalam kontrol negara. Sorotan publik pun memuncak: bagaimana mungkin sebuah bandara tumbuh dan beroperasi, tetapi kehadiran negara justru samar?

Bandara itu sejatinya bukan fasilitas “ilegal”. Ia tercatat resmi di Kementerian Perhubungan dengan kode ICAO WAMP dan IATA MWS, berstatus bandara domestik non-kelas, serta berada dalam pengawasan Otoritas Bandara Wilayah V Makassar. Di atas kertas, semuanya tampak sah. Namun di lapangan, negara justru tak tampak. Tidak ada jejak otoritas bandara, tidak terlihat aparat keamanan, imigrasi, maupun bea cukai. Aksesnya bahkan tertutup rapat—seolah sebuah infrastruktur publik yang berubah menjadi wilayah privat.

Dalam konteks inilah, frasa yang beredar di tengah masyarakat menjadi sangat relevan untuk diperhatikan secara serius. Bandara IMIP dipersepsikan sebagai bandara yang berdiri dan beroperasi tanpa adanya kontrol negara. Ada apa? Siapa yang mengizinkan? Jika ini pelanggaran kedaulatan, mengapa negara diam? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sebatas kegaduhan publik. Ia menyinggung inti persoalan kebernegaraan: kewenangan tidak boleh didelegasikan pada korporasi.

Hal itulah yang memicu kemarahan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsuddin ketika mengunjungi kawasan tersebut. Setelah melihat bandara di IMIP, Sjafrie menyebut fenomena ini sebagai “republik di dalam republik.” Istilah yang tidak sekadar retorik, melainkan penegasan bahwa kedaulatan negara tidak boleh dinegosiasikan dalam teritori industri. Ketertutupan bandara ini juga memicu kecurigaan publik, seolah ada aktivitas yang luput dari pengawasan nasional.

Baca Juga: Cari Hadiah Natal 2025 Buat Pasangan? Ini 3 Ponsel Paling Worth It yang Dipuji Banyak Pengguna Tahun Ini!

Secara regulasi, bandara IMIP dikategorikan sebagai bandara khusus. Sebagai bandara privat, ia tidak diwajibkan memiliki pos imigrasi, bea cukai, maupun akses lalu lintas umum. Prosedur keimigrasian dapat dilakukan di bandara keberangkatan atau transit, seperti Jakarta atau Makassar. Dengan demikian, status khususnya bukan persoalan. Namun, ketika status tersebut berubah menjadi ketertutupan total dari kontrol pemerintah, di situlah permasalahan sesungguhnya bermula.

Dalam hukum penerbangan, negara tetap wajib hadir pada seluruh fasilitas yang menjadi bagian dari kedaulatan ruang udara. Status khusus tidak boleh menghapus fungsi negara sebagai pengawas keamanan, regulator penerbangan, dan pemegang otoritas penuh atas masuk keluarnya manusia maupun barang. Karena itu, pemerintah seharusnya menempatkan aparatnya di area privat tersebut: otoritas bandara, keamanan pertahanan, bahkan imigrasi dan bea cukai jika diperlukan sesuai tingkat risiko operasional.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X