HUKAMANEWS – Dunia politik tak luput dari oknum-oknum yang memanfaatkan momen dan celah untuk meraih kekuasaan. Salah satu fenomena yang memprihatinkan adalah gaya kepemimpinan aji mumpung, di mana individu dengan ambisi pribadi menyingkirkan figur kompeten demi keuntungan semata, tanpa mempertimbangkan etika dan dampak jangka panjang.
Pemimpin aji mumpung ini bagaikan oportunis yang pandai membaca situasi. Mereka muncul di saat kekacauan atau transisi, memanfaatkan celah untuk meraih simpati dan dukungan. Modalnya bukan visi dan misi yang jelas, melainkan pencitraan dan janji-janji manis yang menipu.
Praktisi hukum dan pengamat politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., mempunyai catatan menarik yang mengupas fenomena "Aji Mumpung" dalam konteks etika kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat, serta cara mengatasinya.
PEMANASAN jelang pilkada serentak yang akan digelar November 2024 mulai terasa. Partai politik makin giat melakukan konsolidasi demi menggolkan calon terbaik mereka. Namun, tanpa publik sadari, muncul fenomena politik aji mumpung di tengah riuh persiapan pesta demokrasi ini.
Praktik aji mumpung bagaikan racun yang menggerogoti demokrasi. Orang-orang kompeten disingkirkan, tersingkir oleh ambisi dan agenda tersembunyi. Dampaknya, bukan hanya kualitas kepemimpinan yang terdegradasi, namun juga nasib rakyat yang dipertaruhkan.
Gaya kekuasaan yang aji mumpung adalah sebuah pendekatan di mana individu atau kelompok yang memiliki otoritas menggunakan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan maksimal dalam waktu singkat.
Baca Juga: Serangan Ransomware Lockbit 3.0 Lumpuhkan Pusat Data Nasional, BSSN dan Kominfo Langsung Gercep!
Sosok aji mumpung ini pandai membaca celah dan memaksimalkan momen demi keuntungan pribadi atau kelompok, tanpa memiliki pondasi kepemimpinan yang kuat atau visi yang jelas.
Laksana oportunis sejati, pemimpin aji mumpung ini muncul di kala krisis, kekosongan kepemimpinan, atau situasi chaos untuk memanipulasi keadaan demi keuntungan pribadi. Modal utama mereka adalah retorika yang memikat, janji-janji muluk, solusi instan, dan citra yang dibangun dengan cermat untuk menarik simpati massa.
Biasanya, para petualang politik yang aji mumpung ini cenderung memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan akses atau keuntungan yang tidak dapat diperoleh orang lain. Mereka juga mengabaikan etika. Keputusan yang diambil seringkali tidak memperhitungkan dampak moral atau etis. Para aji mumpung ini hanya fokus pada jangka pendek, karena prioritas utama mereka adalah keuntungan langsung tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang.
Baca Juga: Kuasa Hukum Firli Menepis Kliennya Terima Uang Rp1,3 M dari SYL, Begini Fakta Sebenarnya
Satu lagi, calon pemimpin dengan gaya ini cenderung menghindari pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Mereka minim akuntabilitas.