Hari-hari berikutnya, Mahfud MD makin sering melontarkan pernyataan tentang etika, yang seolah-olah menyindir cawapres nomor urut 02, yakni Gibran Rakabuming Raka. Terbaru, pernyataan Mahfud MD tentang seorang ibu yang melahirkan anak tak beradab adalah dosa besar kepada bangsa.
Banyak kalangan menilai, makna dari pernyataan Mahfud MD ditujukan kepada Iriana Jokowi dan Gibran. Sangat disayangkan, pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang tokoh bergelar profesor sekaligus pejabat publik.
Ketika Mahfud MD menekankan soal etika, justru semua batasan etika itu telah dilanggarnya. Orang yang memahami etika adalah orang yang bisa menjaga lisannya, tidak menyakiti siapapun dan tidak menghakimi.
Dari sini publik bisa menilai, standar etika apa yang sedang dimainkan oleh para calon pemimpin ini. Apakah etis seorang pembantu presiden mengkritik pemerintahan, di mana dia adalah bagian dari pemerintahan tersebut? Dan apakah beretika bila partai pengusung seorang capres-cawapres, di mana ada menteri-menteri mereka duduk di pemerintahan, kemudian secara membabi buta menyerang kebijakan pemerintah? Itu baru satu hal.
Hal lain lain yang lebih mendasar yakni pernyataan cawapres nomor urut 03 tentang penegakan hukum dan korupsi di Indonesia yang justru menimbulkan dampak negatif bagi kepentingan bangsa dan negara ke depan. Karena pernyataan tersebut diucapkan oleh seorang Mahfud MD yang merupakan pejabat publik dan masih aktif menjabat.
Seperti diketahui bersama, saat ini Indonesia sedang berbenah untuk memperbaiki iklim investasi dengan melakukan perbaikan di segala lini, termasuk masalah penegakan hukum. Namun pernyataan Mahfud tersebut justru meruntuhkan imej positif yang dengan susah payah dibangun pemerintah dan bahkan bisa menjauhkan para investor untuk datang ke dalam negeri.
Pernyataan Mahfud MD setelah menjadi cawapres menjadi sangat berlebihan. Jangan terlalu ambisi berkuasa sehingga menghalalkan segala cara.
Mahfud MD dengan menyandang dua status, yakni sebagai cawapres dan Menkopolhukam aktif, berulangkali membuat pernyataan tentang korupsi dan ambuardulnya penegakkan hukum negara di pemerintahan Jokowi sangatlah tidak lazim.
Sesungguhnya bila ingin lantang mengkritik, mundur saja dari jabatan menteri, atau tarik seluruh menteri yang ada di pemerintahan saat ini. Sehingga, selain sportif, mereka juga akan leluasa menyerang pemerintah tanpa harus berstandar ganda.
Dalam sistem presidensial, menteri adalah pembantu presiden untuk melayani rakyat. Tidak dikenal adanya visi dan misi menteri, yang ada menteri hanya menerjemahkan serta menjalankan visi dan misi dari presiden. Untuk itu, akan terasa anomali ketika menteri yang diangkat oleh presiden untuk membantunya kemudian maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden tanpa mengundurkan diri.
Kelakuan para capres dan cawapres yang saling tuduh soal etika ini justru sangat memalukan. Di sisi lain, elite pendukung paslon nomor urut 03 yang selama lantang berbicara tentang etika, justru selama ini bergumul dengan pelanggaran etik.
Hal ini bisa dilihat dari catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana tak sedikit elite PDI Perjuangan yang tersandung kasus korupsi. Mulai dari kasus Harun Masiku, Juliari Batubara yang melakukan korupsi bantuan sosial Covid-19 untuk rakyat, kasus BTS, dan sebagainya.