Setelah Mahfud resmi mundur, kemudian muncul petisi dari Bulaksumur (UGM) beranggotakan beberapa profesor yang mengatasnamakan sivitas akademika. Petisi yang diinisiasi oleh Pusat Kajian Pancasila, menyampaikan agar Jokowi kembali ke koridor demokrasi.
Berikutnya, muncul pernyataan dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang juga mengatasnamakan sivitas akademika, termasuk yayasannya, menyerukan agar Jokowi tidak memainkan politik bansos. Mereka juga meminta Jokowi menjadi pemimpin yang bisa diteladani dalam konteks netral dalam berdemokrasi.
Baca Juga: Migran Care Temukan Ada 198 Data Ganda WNI di New York, KPU Segera Tindaklanjuti Laporan
Aksi serupa juga datang dari Universitas Indonesia. Dengan mengenakan toga Guru Besar, mereka menyatakan keprihatinan terhadap performa kinerja kempemimpinan Presiden Jokowi yang disebut lebih buruk dari orde baru.
Pertanyaan sederhana yang mengemuka, apakah rangkaian kegiatan itu memiliki benang merah dengan mundurnya Mahfud MD dari kabinet Jokowi, alih-alih terkait dengan statusnya sebagai cawapres paslon 03?
Membuka wikipedia, Prof Moh. Mahfud MD menamatkan pendidikan S1 di UII. Selanjutnya dia menempuh pendidikan S2 dan S3 di UGM. Kemudian diangkat menjadi tenaga pengajar di UII Yogyakarta sekitar tahun 80an dan menjadi guru besar di kampus yang sama.
Baca Juga: Wiranto : Prabowo Sudah Selesai Dengan Dirinya, Saya Siap Dukung
Melihat data di atas, memang tergambar jelas ada ikatan historis antara Mahfud MD dengan beberapa kampus yang lantang menyuarakan petisi. Namun, terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa rangkaian petisi-petisi itu menjadi kuda troya bagi eksistensi Mahfud MD dalam konteks kontestasi Pilpres.
Selanjutnya, mari kita coba memahami mengapa kemudian tiba-tiba gerakan ini muncul. Kali ini tentang kinerja dan performa Presiden Jokowi. Jika Presiden Jokowi memiliki masalah serius dalam konteks kinerja dan performa, mengapa DPR sebagai lembaga pengawas eksekutif tidak bertindak?
Padahal, ketika bicara fungsi pengawasan, di dalam gedung DPR ada banyak partai dan politisi, termasuk dari PDI Perjuangan yang memenangi Pemilu 2019. Apakah kinerja Presiden Jokowi lepas dari pantauan mereka, sehingga membuat kelompok lain, seperti petisi 100, petisi Bulaksumur, UII, UI dan lain-lain yang kemudian melakukan evaluasi?
Baca Juga: Jokowi Instruksikan Pencabutan Laporan Terhadap Butet, Kasus Aiman dan Palti Hutabarat Turut Disorot
Tingkat Kepuasan Publik terhadap Kinerja Jokowi
Ironinya, ketika semakin banyak kalangan terpelajar dan sivitas akademika yang bergerak mengkritik Jokowi tentang tentang isu etika bernegara, netralitas aparat, demokrasi yang mendung, dan lain sebagainya, tapi mantan Walikota Solo ini justru semakin populer dan semakin banyak publik yang puas dengan kinerjanya.
Pun dengan pasangan capres dan cawapres yang berasosiasi kuat dengan Jokowi, yakni Prabowo Gibran, elektabilitasnya makin tinggi. Bahkan LSI Denny JA dalam survei terbarunya mencatat angka tertinggi sepanjang survei yakni 50,7% untuk pasangan Prabowo Gibran, melesat diantara dua paslon lain. Angka ini membuka peluang Pilpres satu putaran untuk Prabowo Gibran.
Artikel Terkait
Pilpres 2024, Politik Kotor, dan Upaya Pemakzulan Presiden Jokowi
Presiden Jokowi, antara Opini, Fakta, dan Dukungan Rakyat
Hilirisasi Jokowi dan Pertempuran Politik Jelang Pilpres 2024
Prabowo Subianto Menjemput Kemenangan Pilpres 2024
Debat Capres untuk Mencari Pemimpin Terbaik, Bukan Memilih Kandidat Berwatak Sengkuni
51 Tahun PDI Perjuangan: Elektabiltas Merosot hingga ‘Kehilangan’ Jokowi, Masihkah Jadi Partai Wong Cilik?
Ilusi Pemakzulan Jokowi oleh Kelompok yang Tidak Siap Kalah
Presiden Boleh Berkampanye dan Berpihak, Tinjauan Hukum dan Etik
Etika Abal-Abal Para Capres-Cawapres dan Elite Politik Jelang Pilpres 2024