Sementara itu, di pihak penentang pernyataan presiden berpendapat bahwa hal ini dapat mengancam netralitas presiden. Karena, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Baca Juga: Parah! Skandal Pungli di Rutan KPK Terungkap, Terjadi Sejak 2016 dan Semakin Terstruktur pada 2018
Sebagai kepala negara, presiden memiliki kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai kepala pemerintahan, presiden memiliki kewajiban untuk menjalankan pemerintahan secara profesional dan non-partisan.
Lantas, mereka pun menyebut bahwa keberpihakan presiden dalam kampanye adalah tidak etis bila dipandang dari sisi etika.
Pertanyaan yang menggelitik, bagaimana mungkin seseorang mengkampanyekan satu paslon, tapi tidak berpihak ke paslon tersebut?
Kembali ke beleid yang ada, tidak ada satu UU pun yang menyatakan bahwa presiden harus netral, tidak boleh berkampanye, dan tidak boleh memihak.
Bahkan, merujuk pernyataan pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra, Presiden dan Wapres boleh berkampanye, baik mengkampanyekan diri sendiri sebagai petahana maupun mengkampanyekan orang lain.
Ini adalah konsekuensi dari sistem presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, dan jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45.
Keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955. Karena saat itu Indonesia masih menganut sistem parlementer. Sebagai kepala negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan.
Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai kepala pemerintahan yang ada pada Perdana Menteri Burhanudin Harahap waktu itu. Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara hukum yang memiliki aturan hukum. Begitu pun dalam pemerintahan yang pasti juga memiliki aturan. Semua yang menjalankan kewenangan merujuk pada aturan hukum bukan, merujuk pada selera, bukan merujuk pada kepentingan yang menempel pada kelompoknya.