Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Inilah sikap dasar hidup bernegara yang benar. Jika seorang negarawan minim etika, menolak fakta, dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas, maka negara dalam bahaya.
Demokrasi tanpa pendidikan politik yang baik dan benar, maka suara rakyat menjadi dogma berbahaya di lingkungan yang tidak dikendalikan sistem, kepemimpinan yang bijak dan berwawasan, demikian menukil Socrates.
Baca Juga: Momen Menggemaskan Walikota Beykoz Turki ‘Digelendotin’ Kucing saat Memimpin Rapat Resmi
Cawe-Cawe
Selanjutnya, mari kita bicara tentang ‘dalil’ cawe-cawe atau ikut campur. Diketahui bersama, ketika pasangan Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024 dengan meraup 96 juta suara lebih dan menang di 36 provinsi, pasangan ini dianggap melakukan kecurangan dan menang karena cawe-cawe Jokowi.
Kubu 01 dan 03 kompak menggaungkan cawe-cawe Jokowi pada Pilpres 2024 yang menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Saat mengajukan gugatan PHPU ke MK, dua kubu kalah ini merengek meminta MK mendikualifikasi pasangan 02 dan meminta dilakukan pemilu ulang tanpa kehadiran pasangan Prabowo-Gibran.
Para pemohon juga mengharap MK tidak hanya menjadi ‘Mahkamah Kalkulator’ dengan meminta seluruh gugatan mereka dikabulkan meskipun minim data.
Baca Juga: Arus Balik Lebaran, 9 Tips Aman Berkendara Melalui Jalur Contraflow, Nomor 8 Urgent!
Lantas, dengan apa yang mereka lakukan saat ini, termasuk yang dilakukan Megawati, bukankan ini bentuk cawe-cawe versi lain untuk mengintervensi putusan Hakim MK?
Pertanyaan sederhana, apabila semisal Gibran berpasangan dengan Ganjar atau Anies, akankah narasi tentang etika dan abuse of power yang mereka gemuruhkan akan terjadi segaduh ini? Karena seperti diketahui persama, baik Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo sebelumnya juga telah meminang Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping untuk maju di Pilpres 2024, namun ditolak.
Patut disadari bersama, residu politik Pilpres 2024 ini bukan hanya membebani MK, melainkan juga masa depan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang tidak hanya diisi oleh kelompok-kelompok yang lantang bersuara, menggalang masa, dan menguasai media, tapi juga demokrasi yang substantif. Karena Indonesia adalah Negara hukum.
Suka tidak suka, mau tak mau, pemilu harus berakhir dengan adanya pemenang yang sah. Putusan MK, apapun itu, harus ditanggapi dengan tidak mereproduksi konflik berkepanjangan yang melibatkan massa.
Etika Demokrasi dan Takut Tidak Berkuasa