HUKAMANEWS – Telah lebih dari satu dekade, RUU Perampasan Aset, sebuah instrumen hukum yang diharapkan menjadi senjata ampuh dalam memerangi korupsi dan mengembalikan kerugian negara, masih terkatung-katung di DPR dan mandek tanpa kejelasan.
Tak salah bila kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak begitu masygul dengan kondisi ini. RUU Perampasan Aset merupakan beleid yang sangat strategis untuk mengamankan aset negara dan membersihkan negeri ini dari prilaku korup para elite dan pejabat.
Alih-alih menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset, para elite politik di Senayan malah sibuk dengan agenda-agenda lain. Teraktual, keinginan mereka untuk menggaungkan hak angket dan interpelasi. Ironis sekali.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., menilai ada ketakutan di kalangan elite politik bila RUU Perampasan Aset ini disahkan. Mengapa demikian? Berikut catatan kritis politisi senior yang pernah memimpin Komisi III DPR RI ini.
Dalam sebuah pidatonya, Presiden Jokowi tegas mengatakan bahwa tidak ada negara lain yang menangkap dan memenjarakan pejabatnya yang terbukti melakukan korupsi sebanyak di Indonesia.
Jokowi mencatat, selama kurun waktu 2004 hingga 2022, ada ratusan politisi, kepala daerah, hakim, hingga menteri yang dipenjarakan karena tindak pidana korupsi.
Baca Juga: MK Kabulkan Gugatan Perludem Soal Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Berlaku untuk Pemilu 2029
Rinciannya, 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD; 38 menteri dan kepala lembaga; 24 gubernur; 162 bupati dan walikota; 31 hakim, termasuk hakim konstitusi; 8 komisioner diantaranya komisioner KPU, KPPU dan KY; serta 363 dari birokrat dan 415 dari swasta.
“Terlalu banyak. Sekali lagi, carikan negara lain yang memenjarakan pejabatnya sebanyak di Indonesia,” kata Jokowi.
Dengan begitu banyaknya pejabat yang sudah dipenjarakan, apakah korupsi berhenti atau berkurang? Ternyata tidak. Hingga detik ini, masih banyak ditemukan kasus korupsi. Artinya, perlu adanya evaluasi total.
Baca Juga: Survei Indikator Politik Indonensia: 71,8 Persen Percaya Prabowo Gibran Menang dalam Satu Putaran
Mangkraknya RUU Perampasan Aset membuat pejabat lebih berani melakukan korupsi, bahkan sampai sekarang. Korupsi pengadaa Al Quran (2012), korupsi impor daging sapi (2013), korupsi dana haji (2016), korupsi pengadaan E KTP (2017), korupsi Bansos (2020), hingga korupsi BTS (2023) membuktikan bahwa korupsi-korupsi masih terus terjadi.
Potensi mega korupsi di Kementerian Pertanian maupun di kementerian lain adalah akibat dari UU Perampasan aset yang tak kunjung rampung. Tarik ulur RUU ini para koruptor tertawa dan makin merajalela.
Sebenarnya ada apa dengan para wakil rakyat di Senayan? Apakah benar pernyataan Bambang Pacul, politikus PDI Perjuangan, bahwa mereka tak berkutik dengan RUU ini, karena belum ada ‘restu’ dari masing-masing ketua umum partai untuk meloloskan RUU Perampasan Aset? Apa yang ditakutkan oleh wakil rakyat terpelajar dan yang terhormat ini?
Artikel Terkait
Ilusi Pemakzulan Jokowi oleh Kelompok yang Tidak Siap Kalah
Etika Abal-Abal Para Capres-Cawapres dan Elite Politik Jelang Pilpres 2024
Pilpres 2024, Jokowi, dan Politisi Berjubah Akademisi
Film Dirty Vote Jelang Pencoblosan, ‘Serangan Fajar’ Versi Baru
Menakar Kedewasaan Berpolitik di Tengah Potensi Sengketa Pemilu 2024 dan Integritas MK
Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Skenario Jahat Kelompok Takut Kalah
Buruk Muka Cermin Dibelah, Catatan untuk Ganjar Mahfud, Megawati, dan Elite PDI Perjuangan