Baca Juga: Dewan Pers dan Komunitas Pers Bersatu Menentang RUU Penyiaran Bermasalah
Fakta inilah yang harus diterima PDI Perjuangan berserta segenap elitenya untuk melakukan koreksi ke dalam, bukan dengan menuduh pihak lain curang dan ngotot ingin merebut kekuasaan. Satu hal yang juga menjadi fakta adalah tak satu pun parpol-parpol koalisi PDI Perjuangan dalam Pemilu 2024 yang lolos parliamentary threshold.
PDI Perjuangan juga mungkin alpa jika selama ini mereka memperlakukan Presiden Jokowi tak lebih dari petugas partai. Sebagai seorang Presiden dan Kepala Negara, Jokowi harus melayani seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya anggota PDI Perjuangan, alih-alih elite partainya saja.
Sebagai penerima mandat sebagai Kepala Negara, Jokowi memilih untuk tidak tunduk kepada pemimpin partai meskipun akhirnya dia dicap sebagai pengkhianat dan kacang lupa kulit oleh oleh sebagian elite PDI Perjuangan. Jokowi dianggap tidak setia kawan dan mbalelo terhadap partai.
Bila bertanya tentang kesetiakawanan, bisa ditanyakan kepada Megawati sejauh mana dia setia kawan terhadap sahabatnya sendiri, Kyai Abdurrahman Wahid, yang dia lengserkan saat menjadi presiden.
Bila bertanya tetang janji, sudah berapa kali dia mengingkari perjanjian Batu Tulis, sehingga akhirnya Jokowi yang membayar janji tersebut, meski akhirnya habis mereka caci maki. Poin utama perjanjian Batu Tulis adalah PDI Perjuangan mengusung Prabowo Subianto menjadi capres, setelah Jokowi purnatugas.
Elite PDI Perjuangan seharusnya menyadari bahwa dalam demokrasi, kehendak rakyat adalah yang utama. Jangan merasa karena menjadi partai paling besar, sehingga bisa ‘semau gue’ menentukan arah kehidupan bangsa ini ke depan. Pun, elite PDI Perjuangan dan para pendukungnya harus sadar bahwa capres yang mereka usung pada pilpres 2024 ini hanya dipilih oleh 16% rakyat Indonesia.
Baca Juga: Malas Mengetik? Ubah Suaramu Jadi Teks dengan 5 Aplikasi Ini, Cocok untuk Mahasiswa hingga Jurnalis
Fenomena ini mengingatkan kita pada catatan George Orwell, salah satu penulis politik berkebangsaan Inggris yang cukup paling berpengaruh abad ke-20: “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan, terdengar jujur dan pembunuhan karakter menjadi terhormat.”
Kembali ke patung Melik Nggendhong Lali karya Butet yang dikagumi Megawati. Sebuah karya seni memang bisa digunakan sebagai alat perlawanan dan perjuangan. Boleh jadi, sebuah karya seni didapatkan hasil laku spiritual sehingga terlahirlah kritik terhadap kehidupan sosial yang mewujud dalam sebuah karya. Namun, sangat rendah sekali memaknai seni jika hanya digunakan untuk menyerang pribadi orang.
Patung Melik Nggendhong Lali yang disebut sebagai simbol kepalsuan dan kemunafikan, tak ubahnya menepuk air didulang terpercik muka sendiri.***
Artikel Terkait
Memaknai Kemenangan Prabowo Gibran Bagi Indonesia Maju
Ketika Anies dan Ganjar Meminta MK Ulang Pilpres tanpa Gibran, Membaca Kedewasaan Berpolitik para Capres di Pilpres 2024
Residu Pilpres 2024, Dalil Kecurangan, dan ‘Lawakan’ Anies - Ganjar di MK
Politik Jalan Tengah Puan Maharani
Sengketa Pilpres 2024, Megawati: Amicus Curiae atau Cawe-Cawe?
Pilpres 2024, Siapa 'Membakar' Rumah PDI Perjuangan?
Menimbang Seberapa Penting Pertemuan Megawati, Jokowi, dan Prabowo
Megawati, Oposisi, Politik Dendam dan Kebencian