Menurut Aleks, akar dari krisis ekologis adalah pandangan materialistik terhadap alam.
“Bumi kita perlakukan seperti mesin: diambil hasilnya, dibuang sisanya. Padahal dalam pandangan iman, alam hidup. Ia bagian dari ciptaan yang suci,” katanya pelan, seolah menegaskan kalimat itu bukan teori, melainkan perenungan panjang.
Bagi bangsa seberagam Indonesia, pendekatan ekoteologi, katanya, justru memberi bahasa bersama.
“Dari udara dan tanah yang sama kita berasal, dan kepada bumi yang sama pula kita kembali,” ucapnya.
Gerakan Global, Empati Lokal
Dari belahan dunia lain, Farida Abdulbasit, Koordinator Faith to Action Network, membawa kisah dari Afrika Timur. Di sana, kerja sama lintas agama terbukti memperkuat harmoni sosial lewat aksi konservasi.
“Bicara lintas iman bukan hanya soal toleransi, tapi empati. Ketika kita menanam pohon bersama, kita sedang menanam harapan bagi semua,” ujarnya.
Ia menilai pendekatan Eco Bhinneka Muhammadiyah sangat relevan dan layak diadaptasi di berbagai negara.
“Menghubungkan iman dengan kepedulian ekologis adalah bahasa universal. Semua agama mengajarkan kasih dan tanggung jawab terhadap ciptaan,” katanya.
Farida menegaskan pentingnya melibatkan kaum muda.
“Mereka tidak boleh hanya jadi pendengar. Mereka adalah generasi yang akan mewarisi dunia yang lebih panas, lebih rapuh. Suara mereka harus menjadi pusat,” ujarnya.
Ketika Iman Menolak Diam
Dialog berlangsung hangat. Peserta dari berbagai latar belakang—aktivis muda, akademisi, dan tokoh ormas keagamaan—mengajukan pertanyaan tajam seputar kebijakan yang timpang dan perilaku yang merusak alam.
Menjawab itu, Hening Parlan mengingatkan bahwa kekuatan moral komunitas beragama sangat menentukan.
“Tantangan terbesar bukan hanya menghadapi pengusaha perusak lingkungan, tapi meyakinkan para pemimpin agama untuk menolak diam,” katanya.