GreenFaith Sentil COP30: Nilai Kemanusiaan Jangan Dikorbankan demi Lobi Fosil

photo author
- Senin, 24 November 2025 | 23:12 WIB
COP30 Belem, Brazil telah resmi ditutup. Namun GreenFaith Indonesia mengkritik bahwa forum yang seharusnya menyelamatkan bumi dari pendidihan global justru semakin terlihat sibuk memperjualbelikan krisis iklim dibanding memulihkannya.
COP30 Belem, Brazil telah resmi ditutup. Namun GreenFaith Indonesia mengkritik bahwa forum yang seharusnya menyelamatkan bumi dari pendidihan global justru semakin terlihat sibuk memperjualbelikan krisis iklim dibanding memulihkannya.

HUKAMANEWS GreenFaith - Konferensi Perubahan Iklim (COP30) di Belem, Brasil, selesai digelar. Namun, harapan besar publik terhadap lahirnya langkah tegas keluar dari ketergantungan energi fosil justru pupus. Forum yang seharusnya menyelamatkan bumi dari pendidihan global itu, menurut GreenFaith Indonesia, justru semakin terlihat sibuk memperjualbelikan krisis iklim dibanding memulihkannya.

GreenFaith Indonesia menyebut COP30 sebagai panggung kompromi yang terlalu jinak terhadap industri bahan bakar fosil. Bukannya bertindak tegas, forum itu malah memberi ruang sangat lebar bagi kepentingan korporasi besar. “Situasi ini menunjukkan bahwa suara bumi belum benar-benar didengarkan. Yang terdengar justru suara mesin bisnis,” demikian pernyataan GreenFaith Indonesia secara tertulis.

Pelobi Fosil di Mana-mana

Salah satu sorotan paling tajam datang dari fakta hadirnya lebih dari 1.600 pelobi industri fosil di ruang-ruang perundingan COP30. Jika dirata-ratakan, ada satu pelobi untuk setiap 25 peserta. Rasio ini membuat pertemuan global tentang iklim tampak seperti pameran dagang energi kotor ketimbang ruang penyelamatan planet.

Kehadiran pelobi bukan sekadar statistik. Mereka punya tujuan jelas: mempertahankan ruang ekonomi fosil agar tidak tersingkir dari masa depan energi dunia. Hasilnya terasa. COP30 gagal mendorong penghentian bertahap penggunaan batubara, minyak, gas, dan berbagai sumber emisi tinggi lainnya.

Ironi menjadi semakin tebal ketika Indonesia, negara yang rentan tenggelam oleh krisis iklim, justru “membawa serta” pelobi fosil dalam delegasi resminya. Aksi ini berujung ganjaran.

Climate Action Network International menobatkan Indonesia sebagai Fossil of The Day. Penghargaan yang terdengar seperti satire pahit: negara yang sedang sekarat karena krisis iklim malah sibuk melobi demi industri fosil.

Negara Rentan, Kebijakan Tak Sejalan

Indonesia memiliki alasan kuat untuk bersuara lantang soal keadilan iklim. Dengan lebih dari 17.500 pulau, negara ini menjadi salah satu yang paling terancam akibat perubahan iklim. Banjir rob menenggelamkan desa-desa pesisir, nelayan meninggal akibat cuaca ekstrem, dan pulau-pulau kecil perlahan menghilang ditelan laut.

Data WALHI mencatat lebih dari 5.416 desa pesisir tenggelam akibat banjir rob antara 2017–2020. Tidak berhenti di situ, ribuan nelayan meninggal setiap tahun akibat cuaca ekstrem, sementara puluhan juta warga kini hidup dalam ketidakpastian iklim.

Namun, sejumlah regulasi dalam lima tahun terakhir justru dinilai memperparah keadaan. Revisi UU Minerba memberi napas panjang bagi tambang batubara, bahkan membuka peluang ormas keagamaan memiliki konsesi tambang.

UU Cipta Kerja menghapus sejumlah perlindungan lingkungan. Lalu, dokumen iklim terbaru—Second National Determined Contribution (SNDC)—masih menahan fosil sebagai tulang punggung energi nasional.

“Yang terjadi justru negara memperpanjang izin kerusakan,” kritik GreenFaith yang tertuang dalam kertas posisi yang dirilis Senin, 24 November 2025.

Iman yang Turun Tangan

Berangkat dari situasi itu, GreenFaith Indonesia menawarkan sudut pandang berbeda. Bagi mereka, krisis iklim adalah persoalan moral dan spiritual. Bumi tidak hanya rusak karena kalkulator industri, tetapi karena manusia kehilangan rasa hormat terhadap alam.

GreenFaith mengingatkan kembali tanggung jawab iman: manusia bukan penguasa bumi, tetapi penjaganya. Iman yang sehat tidak tunduk pada pasar, apalagi menjadi alat legitimasi tambang batubara.

“Iman bukan materi dagangan. Ia harus berpihak pada kehidupan,” tulis GreenFaith.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X