HUKAMANEWS - Indonesia kembali menjadi sorotan setelah menerima penghargaan Fossil of the Day Indonesia, sebuah “award satir” yang diberikan kepada negara yang dinilai menghambat negosiasi iklim global, dan situasi ini memicu perbincangan luas soal komitmen iklim Indonesia yang dinilai belum sejalan dengan urgensi krisis.
Isu ini menjadi ramai setelah unggahan Instagram @climaterangersjakarta menyindir pemerintah dengan ucapan “Selamat atas penghargaan si paling fosilnya”, memantik diskusi publik tentang bagaimana posisi Indonesia di panggung COP iklim Indonesia.
Dalam momentum yang seharusnya menjadi ajang peningkatan ambisi iklim, muncul kritik bahwa pemerintah justru terlihat memberi ruang lebih besar pada industri fosil, bukannya memperkuat agenda transisi energi Indonesia yang adil dan berkelanjutan.
Unggahan tersebut juga menyoroti bagaimana generasi muda semakin vokal dalam mendorong perubahan, terutama melalui aksi advokasi yang terang-terangan menyampaikan tuntutan aksi iklim generasi muda kepada pemerintah.
Baca Juga: Satu Dekade Usai Perjanjian Paris, Dunia Makin Panas, Target 1,5°C Semakin Sulit Dikejar?
Melalui dokumen NYS 2025 yang mereka unggah, para aktivis muda ini menegaskan bahwa masa depan iklim Indonesia tidak boleh dikunci oleh kepentingan jangka pendek industri energi kotor.
Kritik ini tidak datang tanpa dasar, karena predikat “Fossil of the Day Indonesia” diberikan bukan sembarangan, melainkan berdasarkan pelanggaran serius terhadap semangat Perjanjian Paris.
Kenapa Indonesia Mendapat “Fossil of the Day”?
Dalam penjelasan Climate Action Network (CAN), Indonesia menerima predikat tersebut karena dianggap menyalahgunakan ruang negosiasi di forum COP untuk memperkuat kepentingan industri fosil.
Beberapa poin penilaiannya antara lain:
- Berusaha melemahkan aturan penting dalam Perjanjian Paris yang bertujuan menahan laju pemanasan global.
- Memberikan panggung bagi industri fosil yang justru menjadi aktor utama pendorong krisis iklim.
- Membiarkan masyarakat menghadapi dampak krisis iklim yang makin parah, termasuk banjir, gelombang panas, dan ancaman kenaikan muka air laut.
Baca Juga: GreenFaith Indonesia dan UIN Sumut Sepakat: Agama Harus Turun Tangan Hadapi Krisis Lingkungan
Secara historis, penghargaan satir ini diberikan sejak 1999, sebagai bentuk “peringatan keras” agar negara yang bersangkutan memperbaiki arah kebijakan iklimnya.
Artikel Terkait
Tanam Pohon dan Efisiensi Energi Warnai Aisyiyah Cadre Camp Jawa Tengah
1000 Cahaya Muhammadiyah Latih Guru Sekolah dan Pesantren Jadi Pionir Transisi Energi Indonesia
Prof. Prabang Ajak Kader Muhammadiyah Rawat Bumi dengan Iman dan Tindakan
UAD dan 1000 Cahaya Muhammadiyah Menyalakan Transisi Energi dari Kampus ke Kehidupan
Dunia Panas Ekstrem, COP30 Diharapkan Jinakkan Emisi, tapi Pasar Karbon Indonesia Malah Bikin Khawatir?