HUKAMANEWS — Suara iman kembali menggema di panggung internasional. Melalui Interfaith Dialogue on Collaborative Climate Actions yang digelar 2–4 Oktober 2025 di Bangkok, Thailand, pemuka agama, pembuat kebijakan, dan kaum muda lintas negara duduk bersama mencari jalan keluar dari ancaman terbesar umat manusia: krisis iklim.
Forum yang diinisiasi oleh International Dialogue Centre (KAICIID) bersama Institute of Buddhist Management for Happiness and Peace Foundation (IBHAP) ini menjadi bagian dari rangkaian Bangkok Climate Action Week (BKKCAW).
Dialog lintas agama ini tidak sekadar diskusi, tetapi menggerakkan kolaborasi lintas iman dalam membangun ketahanan iklim sekaligus menyumbangkan perspektif moral bagi Global Ethical Stocktake (GES) menjelang perundingan iklim COP30.
“Dialog ini penting karena menghadirkan nilai-nilai iman yang melampaui kepentingan jangka pendek. Agama bisa menjadi suara moral yang menekan negara agar lebih berani mengambil keputusan demi keadilan ekologis,” ujar Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia, yang hadir sebagai pembicara utama.
Baca Juga: Ironi Nadiem Makarim: Dari Nilai Antikorupsi hingga Tersangka Korupsi Laptop Chromebook
Dari Krisis Moral ke Gerakan Nyata
Dalam paparannya, Hening menekankan bahwa krisis iklim sejatinya bukan sekadar bencana alam, melainkan krisis moral.
“Alam rusak bukan hanya karena teknologi yang rakus, tetapi juga karena hati manusia yang abai. Iman tidak boleh diam,” ucapnya.
Data terbaru memperlihatkan betapa genting situasi yang dihadapi Indonesia. Hingga Agustus 2025, tercatat 2.170 bencana iklim, 99 persen di antaranya berupa banjir, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan kekeringan. Ironisnya, wilayah yang kaya sumber daya tambang justru menyimpan tingkat kemiskinan tinggi.
“Untuk siapa bumi ini dieksploitasi, dan siapa yang menanggung akibatnya?” tanya Hening.
Bagi pemimpin agama, lemahnya tata kelola lingkungan bukan sekadar kegagalan administratif, tetapi kegagalan moral. Mengabaikan bumi, kata Hening, sama artinya dengan mengkhianati mandat sebagai penjaga ciptaan.
Karena itu, GreenFaith Indonesia bersama jaringan lintas iman menghadirkan inisiatif yang mengubah doa menjadi aksi. Program Faith for Climate Actions melahirkan khutbah hijau, tur ibadah dengan pesan ekologis, hingga deklarasi lintas rumah ibadah di Puja Mandala, Bali.
Tak berhenti di situ, mereka juga meluncurkan Wakaf Energi, filantropi berbasis iman yang membiayai pemasangan panel surya di sekolah Muhammadiyah, masjid, gereja, hingga komunitas di Kalimantan Barat. Ada pula Fiqh Transisi Energi Berkeadilan, yang menggali hukum Islam relevan untuk era energi terbarukan.
Gerakan sosial seperti puasa energi, yang sepenuhnya digerakkan lewat media sosial, berhasil mengajak ratusan orang menghemat listrik bernilai puluhan juta rupiah. Kampanye #SavePulauPari juga mempersatukan umat lintas iman menyelamatkan pulau kecil yang terancam tenggelam.
“Agama memiliki kekuatan bukan hanya pada jumlah jamaahnya, tapi juga pada otoritas moral dan solidaritas yang bisa digerakkan,” kata Hening.
Artikel Terkait
GreenFaith Indonesia dan GPIB Teken MoU Gerakan Gereja Ramah Lingkungan
Draw the Line: Seruan Lintas Iman untuk Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30
Tagilom: Upholding Peace from Ternate for the World
From Hashtags to Real Action: It’s Time for Youth to Lead Change
Perempuan ‘Aisyiyah Jadi Garda Depan Gerakan Energi Berkelanjutan
Faith, Climate Crisis, and the Moral Responsibility of Religious Communities