HUKAMANEWS GreenFaith - Di tengah meningkatnya suhu bumi dan rusaknya keseimbangan alam, suara nurani bergema dari Kota Khatulistiwa. Sekelompok pemuda lintas iman di Pontianak sepakat bahwa krisis iklim bukan hanya perkara lingkungan, melainkan panggilan moral dan kemanusiaan yang menuntut tanggung jawab bersama.
Kesadaran itu terwujud dalam Pelatihan Keadilan Iklim untuk Pemuda Lintas Iman yang digagas GreenFaith Indonesia bersama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kalimantan Barat pada Jumat (10/10). Kegiatan ini menandai langkah pertama GreenFaith di Kalimantan Barat, sekaligus pelatihan ke-12 sejak gerakan lintas agama ini hadir di Indonesia.
“Semua agama mengajarkan cinta kasih terhadap kehidupan. Iman bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan alam dan sesama makhluk,” ujar Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, membuka sesi pelatihan.
Baca Juga: Draw the Line: Seruan Lintas Iman untuk Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30
Dari Ego ke Eco
Dalam sambutannya, Hening mengingatkan bahwa dunia kini tak lagi menghadapi sekadar perubahan iklim, melainkan krisis ekologis yang nyata.
“Bumi bukan hanya panas, tapi juga terluka. Lapisan ozon menipis, hutan menjerit, laut menolak limbah, dan manusia kehilangan keseimbangan spiritual terhadap alam,” ucapnya.
Ia menegaskan, nilai-nilai iman memiliki kekuatan untuk membalik arah krisis ini. Setiap agama, katanya, memuat pesan ekologis yang dalam: Islam menempatkan manusia sebagai khalifah fil ardh; Hindu menegakkan harmoni melalui Tri Hita Karana; Katolik menggaungkan pesan ekologis lewat Laudato Si; Buddha menekankan welas asih terhadap semua makhluk; dan Khonghucu mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam.
“Dari ego menjadi eco,” tutur Hening. “Iman sejati bukan hanya doa di bibir, tapi tindakan nyata untuk melindungi bumi yang adalah rumah bersama.”
Baca Juga: GreenFaith Indonesia dan GPIB Teken MoU Gerakan Gereja Ramah Lingkungan
Krisis Iklim dan Krisis Spiritualitas
Kalimantan Barat menjadi contoh nyata bagaimana krisis ekologis dan spiritualitas saling bertaut. Dalam sesi bertema Agama, Kerusakan Alam, dan Keadilan Iklim, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye GreenFaith Indonesia, menguraikan bahwa banjir yang berulang, deforestasi masif, dan suhu ekstrem merupakan tanda-tanda kehilangan arah manusia dalam memperlakukan alam.
“Penggundulan hutan dan tambang batu bara bukan sekadar persoalan ekonomi. Itu juga cermin dari relasi manusia yang tak lagi menghormati bumi,” katanya.
Parid mengutip pemikiran Seyyed Hossein Nasr dalam Religion and the Order of Nature, bahwa akar kerusakan ekologis berawal dari kedangkalan spiritual.
“Ketika manusia meninggalkan langit, ia kehilangan panduan moral untuk menjaga bumi,” ujarnya.
Ia juga menyinggung Dokumen Al-Mizan, panduan Islam global tentang etika lingkungan, yang menolak pandangan bahwa manusia adalah pusat segalanya. Alam, tegasnya, bukan objek eksploitasi, melainkan bagian dari ciptaan yang suci.
Baca Juga: GreenFaith Indonesia Calls for a Moral Interfaith Voice at the Bangkok Climate Action Week
Artikel Terkait
Ketika Iman Tak Lagi Diam, Inilah Kolaborasi Lintas Agama Melawan Kerakusan yang Merusak Alam
Tagilom: Upholding Peace from Ternate for the World
From Hashtags to Real Action: It’s Time for Youth to Lead Change
Faith, Climate Crisis, and the Moral Responsibility of Religious Communities
Hening Parlan dan Suara Moral Lintas Iman Menggema di Bangkok Climate Action Week
GreenFaith Indonesia Calls for a Moral Interfaith Voice at the Bangkok Climate Action Week