Suara Iman dari Pontianak: Menyatukan Langkah Lintas Agama untuk Bumi yang Berkeadilan

photo author
- Senin, 20 Oktober 2025 | 16:24 WIB
Interfaith National Seminar bertajuk “Dari Eco Teologi Menuju Keadilan Iklim” hadirkan para tokoh lintas agama, akademisi, dan aktivis lingkungan, di Hotel Ibis Pontianak, Sabtu (11/10/2025).
Interfaith National Seminar bertajuk “Dari Eco Teologi Menuju Keadilan Iklim” hadirkan para tokoh lintas agama, akademisi, dan aktivis lingkungan, di Hotel Ibis Pontianak, Sabtu (11/10/2025).

Baca Juga: Viral! Akhirnya Lisa Mariana Akhirnya Jadi Tersangka, Hari Ini Diperiksa Atas Tuntutan Pencemaran Nama Baik Ridwan Kamil

Menurut Aleks, akar dari krisis ekologis adalah pandangan materialistik terhadap alam.

“Bumi kita perlakukan seperti mesin: diambil hasilnya, dibuang sisanya. Padahal dalam pandangan iman, alam hidup. Ia bagian dari ciptaan yang suci,” katanya pelan, seolah menegaskan kalimat itu bukan teori, melainkan perenungan panjang.

Bagi bangsa seberagam Indonesia, pendekatan ekoteologi, katanya, justru memberi bahasa bersama.

“Dari udara dan tanah yang sama kita berasal, dan kepada bumi yang sama pula kita kembali,” ucapnya.

Gerakan Global, Empati Lokal

Dari belahan dunia lain, Farida Abdulbasit, Koordinator Faith to Action Network, membawa kisah dari Afrika Timur. Di sana, kerja sama lintas agama terbukti memperkuat harmoni sosial lewat aksi konservasi.

“Bicara lintas iman bukan hanya soal toleransi, tapi empati. Ketika kita menanam pohon bersama, kita sedang menanam harapan bagi semua,” ujarnya.

Ia menilai pendekatan Eco Bhinneka Muhammadiyah sangat relevan dan layak diadaptasi di berbagai negara.

Baca Juga: Titel Pengangguran Tertinggi di ASEAN Bayangi Anak Muda RI, Menkeu Purbaya Tebar Janji Ekonomi Pulih di Akhir 2025

“Menghubungkan iman dengan kepedulian ekologis adalah bahasa universal. Semua agama mengajarkan kasih dan tanggung jawab terhadap ciptaan,” katanya.

Farida menegaskan pentingnya melibatkan kaum muda.

“Mereka tidak boleh hanya jadi pendengar. Mereka adalah generasi yang akan mewarisi dunia yang lebih panas, lebih rapuh. Suara mereka harus menjadi pusat,” ujarnya.

Ketika Iman Menolak Diam

Dialog berlangsung hangat. Peserta dari berbagai latar belakang—aktivis muda, akademisi, dan tokoh ormas keagamaan—mengajukan pertanyaan tajam seputar kebijakan yang timpang dan perilaku yang merusak alam.

Menjawab itu, Hening Parlan mengingatkan bahwa kekuatan moral komunitas beragama sangat menentukan.

“Tantangan terbesar bukan hanya menghadapi pengusaha perusak lingkungan, tapi meyakinkan para pemimpin agama untuk menolak diam,” katanya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X