HUKAMANEWS GreenFaith — Dari tepi Sungai Kapuas, suara iman bergema, bukan dalam bentuk khotbah atau ritual, melainkan lewat seruan untuk menjaga bumi. Di tengah ancaman krisis iklim dan merosotnya solidaritas sosial, Pontianak menjadi saksi bagaimana keberagaman bisa menjelma menjadi kekuatan moral yang menyejukkan.
Lewat Interfaith National Seminar bertajuk “Dari Eco Teologi Menuju Keadilan Iklim”, para tokoh lintas agama, akademisi, dan aktivis lingkungan berkumpul di Hotel Ibis Pontianak, Sabtu (11/10/2025). Mereka sepakat bahwa krisis ekologi bukan semata isu sains, melainkan soal etika, iman, dan masa depan kemanusiaan.
Acara yang dipandu oleh Parid Ridwanuddin, Program Manager GreenFaith Indonesia, ini menjadi bagian dari Festival Sustainability, Harmony, and Equality (S.H.E) 2025 yang diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah.
Baca Juga: GreenFaith Indonesia dan Institut Dayakologi Satu Visi Menjaga Hutan dan Merawat Iman
Dari Pandemi ke Kesadaran Ekologis
“Pandemi mengajarkan kita satu hal: alam sedang memberi peringatan,” ujar Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah.
Ia mengenang awal mula inisiatif ini lahir pada tahun 2020—masa ketika dunia berhenti sejenak dan manusia belajar arti keheningan.
“Kami melihat pandemi bukan semata krisis kesehatan, melainkan krisis ekologi. Ia lahir dari rusaknya relasi manusia dengan alam,” katanya.
Hening mengutip data BNPB: sepanjang 2020, lebih dari 1.900 bencana terjadi di Indonesia, dan 99 persen di antaranya akibat faktor hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.
“Itu artinya, perubahan iklim bukan sekadar ancaman global. Ia terjadi di depan rumah kita,” ujarnya.
Baca Juga: Satu Tahun Prabowo–Gibran: Antara Janji, Diplomasi, dan Cermin Realitas Rakyat
Menurutnya, agama memiliki peran besar untuk menumbuhkan kesadaran ekologis. Lebih dari 90 persen penduduk Indonesia mengaku beragama, tetapi kepedulian terhadap lingkungan belum menjadi bagian dari praktik keimanan.
“Krisis iklim tak bisa diselesaikan hanya dengan teknologi, tapi dengan moralitas dan spiritualitas,” tegas Hening yang juga merupakan Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.
Melihat yang Tak Terlihat
Dari sisi akademik, Dr. Aleks A. Binawan, Koordinator PusakaMas ITKK Sekadau, menawarkan cara pandang lain: ekoteologi.
“Tugas teolog adalah melihat yang tak terlihat,” ujarnya.
Dalam konteks ini, yang tak terlihat adalah kesadaran batin tentang hubungan manusia dengan ciptaan—dimensi spiritual yang sering luput dari kebijakan dan ilmu pengetahuan.
Artikel Terkait
Faith, Climate Crisis, and the Moral Responsibility of Religious Communities
Hening Parlan dan Suara Moral Lintas Iman Menggema di Bangkok Climate Action Week
GreenFaith Indonesia Calls for a Moral Interfaith Voice at the Bangkok Climate Action Week
Pemuda Lintas Iman di Pontianak dan GreenFaith Indonesia Bergerak Wujudkan Rumah Ibadah Ramah Lingkungan
Eco Bhinneka Muhammadiyah Gelar Festival SHE 2025: Dari Ekoteologi Menuju Keadilan Iklim
GreenFaith Indonesia dan Institut Dayakologi Satu Visi Menjaga Hutan dan Merawat Iman