Merujuk pada pasal 286 UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu, terutama tentang pasal pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif, maka pelapor harus bisa menyampaikan data, informasi yang benar, bukti-bukti yang valid di 50 persen provinsi di Indonesia.
Artinya untuk menghadirkan itu tidaklah mudah. Maka kalau ada di sejumlah daerah dan di luar negeri dan beberapa TPS, secara faktual itu mungkin adalah kecurangan, tetapi apakah hal itu merepresentasikan sesuatu yang sifatnya sistematis, terstruktur dan masif, itu justru sesuatu hal yang tidak mudah untuk diputuskan.
Sebab hal itu akan diuji untuk melihat seberapa kuat konsistensi dan juga keberanian dari masing-masing keluatan yang selama ini mengklaim melakukan dan memiliki kekhawatiran atau konsen terkait dengan konteks Fair Election.
Seperti kejadian TPS di Lampung dan sejumlah TPS di Luar Negeri, secara faktual mungkin itu adalah kecurangan, tetapi apakah hal tersebut merepresentasikan sesuatu yang sifatnya terstruktur, sistematis, masif, itu yang harus dibuktikan. Jadi jangan hanya beropini dan kemudian menggiring pada pemahaman yang sesat.
MK pastinya akan menguji dan melihat seberapa kuat konsistensi dan juga keberanian dari masing-masing kekuatan yang selama ini mengklaim terjadi kecurangan.
Baca Juga: 10 Parpol Gagal Melenggang ke Senayan Berdasarkan Quick Count CSIS, Update Per 16 Februari
Berdasarkan pengalaman sengketa pemilu sebelumnya, sejauh ini pendekatan “kecurigaan atau dugaan” masih menjadi bukti terjadinya kecurangan Pemilu dan sulit untuk dibuktikan, karena masing-masing pelaku akan saling tuding, hingga pada akhirnya hanya sebatas dianggap pelanggaran administrasi.
Sehingga, untuk berperkara di MK, kubu Palson 01 dan 03 harus menyiapkan argumentasi yang kuat untuk bertarung di pengadilan. Kumpulkan data dan fakta yang kredibel sehingga bisa menjadi ‘amunisi’ kuat untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran pemilu. Bagaimana pelanggaran dilakukan, di mana, siapa melakukan, kapan, bagaimana bentuk pelanggaran tersebut.
Melakukan dan memiliki kekhawatiran tentang fair election adalah hal yang wajar, namun apakah kemudian akan tetap berani melakukan perlawanan secara konstitusional ataukah tidak. Atau jangan-jangan rentang waktu menuju di 20 Oktober 2024 nanti akan dijadikan sebagai ruang negosiasi atau ruang kompromi kepentingan dengan siapa yang menang? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Di atas semua itu, satu hal yang harus diingat oleh para palson yang sedang berkotestasi, jadikan kepetingan rakyat dan negara di atas segalanya. Jangan sampai karena pesta demokrasi, negeri kita luluh lantak oleh egoisme para elite yang ingin menang sendiri.
Bila MK telah memutuskan, semua pihak harus legowo dan menerima semua keputusan yang telah final tersebut dengan lapang dada. Karena ada kepentingan lebih besar dari diselenggarakannya pemilu, yakni kemakmuran rakyat dan kepastian hukum di negeri yang kita cintai, Indonesia.***