Sudah menjadi hal lumrah bila calon kepala daerah yang memiliki kekuatan modal besar, jaringan luas, dan akses ke media massa, dengan mudahnya menguasai opini publik sehingga membuat rakyat terperangkap dalam pusaran informasi yang bias. Akibatnya, pilihan yang diambil bukan lagi berdasarkan pertimbangan rasional, melainkan karena dorongan emosional atau tekanan sosial.
Ini adalah ironi demokrasi kita, di mana rakyat seharusnya menjadi penentu, tetapi justru sering kali menjadi penonton, alih-alih korban. Rakyat kerap kali hanya dianggap sebagai objek, yang suaranya bisa dibeli dan dimanipulasi. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi kehendak rakyat.
Baca Juga: Menggali Potensi Wakaf dalam Mengatasi Krisis Iklim dan Membangun Energi Bersih
Pengorbanan Nyata Rakyat
Pada Pilkada sebelumnya, kita telah menyaksikan berita tentang konflik horizontal, ketegangan sosial, hingga kekerasan fisik yang terjadi di berbagai daerah. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang demokrasi malah menjadi ajang pertarungan yang memecah belah masyarakat. Persaingan antar kandidat sering kali meruncing menjadi konflik antar pendukung yang pada akhirnya merugikan masyarakat itu sendiri.
Lebih parah lagi, setelah Pilkada usai, masyarakat sering kali dibiarkan begitu saja oleh para pemenang. Janji-janji kampanye yang diucapkan dengan penuh semangat berubah menjadi angin lalu, dan rakyat kembali harus menghadapi realitas hidup yang tidak berubah. Mereka yang sudah mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa, sering kali hanya mendapat imbalan berupa ketidakpedulian dari pemimpin yang telah mereka pilih.
Baca Juga: Mengenal Istilah Hukum Actio in Pauliana, Tuntutan Hukum untuk Perlindungan Hak Kreditur
Idealnya, Pilkada Serentak 2024 harus menjadi momentum bagi kita semua untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Rakyat harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin, dan kandidat pun harus lebih berintegritas dalam menjalani proses demokrasi ini. Pendidikan politik yang lebih baik perlu diberikan kepada masyarakat agar mereka bisa memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi, bukan karena iming-iming sesaat.
Satu hal yang tak boleh dilupakan yakni mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik, karena ini merupakan salah satu langkah kongkrit untuk memperkuat demokrasi.
Kita pun perlu mendorong adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik politik uang dan intimidasi yang kerap terjadi selama Pilkada. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya Pilkada akan sangat membantu menciptakan pemilihan yang lebih adil dan berintegritas.
Jangan Jadikan Rakyat Tumbal Demokrasi
Pilkada Serentak 2024 adalah ujian bagi kita semua, baik sebagai rakyat maupun sebagai bagian dari sistem demokrasi. Kita harus memastikan bahwa proses ini benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati, di mana suara rakyat dihargai dan di mana pemimpin yang terpilih adalah mereka yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan sekadar memanfaatkan mereka sebagai tangga menuju kekuasaan.
Di sisi lain, bagi penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPU Daerah, harus memastikan seluruh anggotanya bebas dari intrik dan money politic jual beli suara terhadap para kandidat. Praktik jual beli suara, tak hanya menyebabkan hilangnya martabat hak suara rakyat di momen pilkada, tapi juga dapat diklasifikasikan sebagai penghianatan politik terhadap bangsa dan negara.
Artikel Terkait
Pejabat Korup: Parasit Penghisap Darah Rakyat, Ancaman Nyata Bagi Bangsa
Ketika Negara Tidak Serius Memberantas Korupsi
ETIKA NEGARA DEMOKRASI, Membangun Politik, Hukum dan Ekonomi yang Bermartabat
Korupsi: Musuh dalam Selimut 79 Tahun Indonesia Merdeka
Putusan MK: ‘Game Changer’ Pilkada 2024, Mendobrak Monopoli Kekuasaan
Gaduh Aturan Pilkada 2024: Mengurai Benang Kusut Putusan MK dan DPR
Jerat Politik Kekuasaan: Oligarki, Korupsi, dan Mimpi Keadilan yang Sirna