HUKAMANEWS – Korupsi, penyakit kronis yang terus menghantui bangsa Indonesia, telah menjelma menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita. Akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam kuat dalam relasi antara elite politik dan kekuasaan. Keterlibatan elite dalam praktik korupsi telah menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial.
Hubungan antara elite politik dan korupsi seringkali digambarkan sebagai simbiosis mutualisme yang mematikan. Keduanya saling membutuhkan dan saling melindungi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., secara lugas mengurai permasalahan tersebut dalam analisisnya dengan judul: ETIKA NEGARA DEMOKRASI, Membangun Politik, Hukum dan Ekonomi yang Bermartabat.
***
HUKUM tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada HUKUM. Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya.
Belakangan ini, istilah "politik sandera" semakin sering digunakan dalam percakapan politik di Indonesia. Istilah ini merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik.
Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum. Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu.
Penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang kini berada pada angka 34, menempatkan negara ini di peringkat 115 dari 180 negara pada tahun 2023. Ini merupakan penurunan dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya, menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi adalah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.
Contoh terkini dari politik sandera ini adalah mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar, yang diduga kuat terkait dengan kasus korupsi fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang sedang diusut oleh Kejaksaan Agung. Meskipun bukan satu-satunya faktor, kasus hukum ini setidaknya mencerminkan adanya tekanan politik yang digunakan untuk menekan Airlangga. Pasalnya, Airlangga sejauh ini cukup berani dan terbuka dengan isu hukum tersebut. Itu dibuktikannya dengan memenuhi panggilan Kejagung tahun lalu. Dia sempat diperiksa selama 12 jam sebagai saksi dalam perkara ini.
Merusak Demokrasi
Politik sandera yang dilakukan melalui kasus hukum untuk menekan dan mengontrol lawan politik adalah noda hitam bagi demokrasi. Praktik ini mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan. Sikap pragmatis dan tak tahu malu ini berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum, yang seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan dan kesetaraan.
Politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan. Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat bukan hanya segelintir elite penguasa.
Artikel Terkait
Membangun Sistem yang Menghargai Keadilan, Sebuah Catatan Penting Menuju Indonesia Emas
KPK Tak Berdaya, Pejabat Tak Becus Bekerja, Ada Apa dengan Indonesia?
Mengurai Benang Kusut Korupsi di Indonesia, Akar Permasalahan dan Lemahnya Senjata Negara
Ketika Jokowi Berjuang Sendiri Melawan Kekuatan Politik yang Melemahkan KPK
Refleksi 79 Tahun Kemerdekaan, Jalan Menuju Indonesia Maju, Bangkit, dan Mandiri
Pejabat Korup: Parasit Penghisap Darah Rakyat, Ancaman Nyata Bagi Bangsa
Ketika Negara Tidak Serius Memberantas Korupsi