Pada awal 2017, Jokowi kembali meminta DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK, meskipun penundaan tersebut tidak menghapus rencana revisi dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Ketika DPR akhirnya mengesahkan revisi UU KPK pada 17 September 2019, Presiden Jokowi menjadi kambing hitam.
KPK dan para pegiat anti korupsi merasa dikhianati oleh keputusan ini. Kekhawatiran para aktivis adalah bahwa tidak akan ada lagi lembaga independen yang efektif mengawasi tata kelola pemerintahan yang baik. Korupsi yang telah dibasmi dikhawatirkan akan kembali tumbuh subur, mengancam visi dan amanat konstitusional negara untuk kemakmuran rakyat.
Pada akhirnya, sejarah cenderung berulang. Bung Karno pernah mengatakan bahwa perjuangannya meraih kemerdekaan lebih mudah karena melawan penjajah. Sedangkan perjuangan mengisi kemerdekaan jauh lebih sulit karena menghadapi bangsa sendiri. Hal ini relevan dengan situasi Jokowi saat ini. Menghadapi oposisi jelas lebih mudah dibanding menghadapi tantangan dari dalam koalisinya sendiri.
Guru Besar Universitas Indonesia, Emil Salim, menyebut omong kosong partai pendukung Jokowi ingin menguatkan KPK. Sikap partai-partai tersebut dalam isu revisi UU KPK menunjukkan hal yang sebaliknya. Bahkan, pengusul revisi UU ini berasal dari partai pendukung Jokowi. Emil Salim adalah salah satu dari banyak tokoh yang diundang oleh Jokowi untuk berdiskusi pada 26 September 2019.
Kini, hampir lima tahun sejak revisi UU KPK disahkan pada 17 September 2019, KPK mulai tampak kedodoran. Berbagai masalah melilit lembaga antirasuah ini. Mulai dari kewenangannya yang terbatas, hingga konflik di internal tubuh KPK yang menyeruak ke publik.
Bahkan, Ketua KPK Firli Bahuri yang merupakan pensiunan polisi dengan pangkat Komisaris Jenderal, harus menelan pil pahit dipecat dari jabatannya karena diduga kuat terlibat kasus pemerasan dan gratifikasi. Wakil ketua KPK yang lain juga menjalani sidang etik karena kasus serupa.
Baca Juga: Rekam Jejak Pieter C Zulkifli, Mantan Ketua Komisi III DPR Menuju Kursi Pimpinan KPK 2024
Serangan bertubi-tubi ke KPK dan lemahnya pertahanan lembaga antirasuah ini harusnya menjadi tamparan keras bagi elite negara untuk serius membenahi KPK.
Perjuangan Jokowi melawan korupsi harus tetap berlanjut, dilanjutkan oleh estafet kepemimpinan berikutnya yakni Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Jangan biarkan mereka berdiri sendirian memberantas korupsi, penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan negeri.
Tekanan terhadap KPK memang sangat kuat, banyak pihak ingin membuat KPK lemah dan tak berdaya, bahkan lumpuh. Satu pesan dari Presiden Susilo Yudhoyono yang senantiasa penulis ingat saat pertama kali memimpin Komisi III DPR, untuk lebih hati-hati memimpin komisi ini. Urusan pelemahan KPK, bukan hanya kepentingan pribadi yang bermain, tapi justru kepentingan partai politik yang dominan menginginkan KPK lemah tak berdaya.
Dan, bursa pemilihan calon Pemimpin dan Dewan Pengawas KPK adalah momen terbaik untuk memilih sosok-sosok dengan integritas tinggi, jujur, dan memiliki nyali kuat memberantas korupsi. Ini diperlukan karena perjuangan melawan korupsi ke depan akan semakin berat dan kompleks.***
Artikel Terkait
Rekrutmen Pimpinan dan Dewas KPK: Mencari Cahaya di Tengah Kegelapan
Erosi Etika dan Gaya Kekuasaan Aji Mumpung: Ketika Kompetensi Dikalahkan Kepentingan
Melawan Nepotisme dan Politik Balas Budi dengan Meritokrasi, Kunci Menuju Indonesia Adil dan Bermartabat
Membangun Sistem yang Menghargai Keadilan, Sebuah Catatan Penting Menuju Indonesia Emas
KPK Tak Berdaya, Pejabat Tak Becus Bekerja, Ada Apa dengan Indonesia?
Mengurai Benang Kusut Korupsi di Indonesia, Akar Permasalahan dan Lemahnya Senjata Negara