HUKAMANEWS – Korupsi di negeri ini telah menjadi masalah kronis yang seakan tak pernah usai. Korupsi telah menjadi momok yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara di Indonesia. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, oleh pemerintah dna lembaga terkait, kasus korupsi terus bermunculan dengan berbagai modus operandi yang semakin canggih.
Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu sulit diberantas di Indonesia? Apa yang membuatnya begitu mengakar sehingga membuat negara seolah-olah tidak berdaya menghadapi praktik korupsi yang merajalela?
Pengamat politik dan praktisi hukum Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., akan membahas berbagai faktor yang menyebabkan korupsi di Indonesia sulit diberantas dan kerap menemui jalan buntu, beserta pemikiran-pemikiran kritisnya untuk memangkas rantai korupsi di Indonesia dalam analisis politiknya berikut ini.
***
Mengawali tulisan ini izinkan saya menukil kalimat bijak dari almarhum Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, tentang korupsi yang patut kita renungkan bersama: "Korupsi adalah musuh rakyat yang paling kejam. Ia merampas kesempatan, menghancurkan mimpi, dan menjerumuskan bangsa ke dalam jurang kemiskinan."
Tak salah, korupsi bagaikan benang kusut yang menjerat erat kemajuan bangsa Indonesia. Ibarat penyakit kronis, pemberantasannya bagaikan mimpi yang sulit digapai.
Kita sudah melihat berbagai kebijakan dan inisiatif yang diluncurkan untuk memerangi korupsi. Dari pembentukan lembaga antikorupsi, kampanye publik, hingga reformasi hukum. Namun, seiring berjalannya waktu, masalah ini tetap ada, dan bahkan dalam beberapa kasus, semakin memburuk.
Baca Juga: Kenapa RUU TNI Harus Dihentikan? Cek 5 Poin Pentingnya di Sini!
Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu mengakar kuat di negeri ini? Mengapa negara, dengan segala kekuatannya, tampak tak berdaya melawannya? Mari kita telusuri akar permasalahannya.
Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak zaman kolonial, praktik ini telah menjadi bagian dari budaya birokrasi di Indonesia. Budaya "uang pelicin" telah mengakar kuat, membuat korupsi seakan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus, karena sudah menjadi ‘norma’ yang diterima banyak orang.
Dalam amatan penulis, setidaknya ada tujuh faktor yang menyebabkan korupsi di Indonesia tak ubahnya lingkaran setan sehingga sulit diberantas.
Pertama, budaya permisif. Norma tak kasat mata yang menciptakan budaya permisif menyebabkan korupsi masih mengakar kuat di masyarakat. Sikap "asal setor uang, beres" atau "segitu aja sih, biasa kok" menjadi celah bagi korupsi untuk berkembang. Kurangnya edukasi dan kesadaran akan bahaya korupsi memperparah situasi.
Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Pengawasan terhadap penyelenggaraan negara yang lemah juga menjadi penyebab maraknya korupsi. Aparatur penegak hukum, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, tak jarang terjerumus dalam pusaran korupsi itu sendiri.
Di sisi lain, lembaga pengawas seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sering kali mengalami intervensi politik yang menghambat kerja mereka. Selain itu, lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum membuat proses pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Intervensi politik, suap, dan budaya tebang pilih turut menggerogoti integritas hukum.
Artikel Terkait
Rekrutmen Pimpinan dan Dewas KPK: Mencari Cahaya di Tengah Kegelapan
Erosi Etika dan Gaya Kekuasaan Aji Mumpung: Ketika Kompetensi Dikalahkan Kepentingan
Melawan Nepotisme dan Politik Balas Budi dengan Meritokrasi, Kunci Menuju Indonesia Adil dan Bermartabat
Membangun Sistem yang Menghargai Keadilan, Sebuah Catatan Penting Menuju Indonesia Emas
KPK Tak Berdaya, Pejabat Tak Becus Bekerja, Ada Apa dengan Indonesia?