Baca Juga: 1.000 Lebih Anak Muda Muhammadiyah Desak Haedar Nashir Tolak Tawaran Tambang dari Pemerintah
Satu dari sekian banyak masalah yang melilit KPK adalah justru datang dari elit pimpinan mereka. Masalah pelanggaran etik mantan Ketua KPK Firli Bahuri hingga Nurul Ghufron yang kini menjabat wakil ketua KPK, makin memperjelas dugaan bahwa terjadi friksi di internal pimpinan KPK dan Dewan Pengawasnya.
Bila Firli Bahuri diduga melanggar etik dan menerima gratifikasi dari mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo saat masih menjabat Ketua KPK, maka Ghufron menjalani sidang etik oleh Dewas KPK karena telah berkomunikasi dengan bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono yang saat itu menjabat sebagai inspektur jenderal Kementan. Komunikasi itu terkait mutasi pegawai di Kementan bernama Andi Mandasari setelah Ghufron dihubungi mertua Andi yang merupakan temannya.
Atas kasus etik itu, Nurul Ghufron kemudian melayangkan gugatan ke PTUN. PTUN lalu mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan Dewas KPK menunda pemeriksaan etik kepada Ghufron. Salinan vonis dari PTUN pun telah diterima oleh Dewas KPK.
Dengan berbagai rentetan peristiwa yang terjadi, wajar jika kemudian rakyat mulai ragu dengan kinerja KPK dan skeptis dengan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dan mewujudkan good governance. Hal ini dapat memicu kekecewaan dan kemarahan rakyat, serta berpotensi menimbulkan instabilitas politik.
Situasi yang kompleks ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Apakah KPK benar-benar tak berdaya? Apakah para menteri sengaja membiarkan korupsi terjadi? Atau ada pihak lain yang bermain api di balik semua ini?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah ditemukan. Namun, yang jelas adalah bahwa situasi ini sangat memprihatinkan dan perlu segera dituntaskan. KPK harus mereformasi diri secepat mungkin.
KPK harus menata internalnya menjadi lebih terbuka dan menegakkan integritas—mulai dari pimpinan sampai bawahan—untuk mengembalikan kepercayaan publik. Sebab, eksistensi KPK tidak lepas dari dukungan masyarakat. Ketika kepercayaan itu mengalami penggerusan, KPK mengalami pelemahan bahkan kehilangan legitimasi moral publiknya.
KPK harus menghindarkan diri dari konflik kepentingan dengan para pihak, terutama yang terkait dengan kasus. Sebab, konflik kepentingan merupakan bagian dari malaadministrasi. Pekerjaan rumah membenahi tata kelola internal KPK ini akan menjadi pekerjaan berat bagi pimpinan periode berikutnya.
Satu hal, memberantas korupsi, tidak cukup hanya penindakan dan pencegahan. Tak kalah penting adalah Negara harus serius memberantas para perampok uang rakyat dengan tanpa pandang bulu. Karena, instrumen pencegahan yang terukur dan sistem teknologi modern apapun tidak akan pernah menang melawan perilaku korupsi jika Negara tidak serius memberantas korupsi.
Baca Juga: Fakta Mencengangkan Kenaikan Air Laut dalam 30 Tahun Terakhir Menurut Penelitian NASA
Sehingga, memaknai penguatan KPK tak hanya sebatas kata-kata dan obral janji. Harus ada langkah konkrit dari elite politik di parlemen dan elite pemerintah dalam upaya memperkuat KPK menjadi lebih digdaya dan bertaji.
Artikel Terkait
Keadilan di Indonesia, Mimpi Reformasi yang Terkikis Korupsi
Partai Korup, Benalu Demokrasi, dan Jalan Terjal Penegakan Hukum di Indonesia
Rekrutmen Pimpinan dan Dewas KPK: Mencari Cahaya di Tengah Kegelapan
Erosi Etika dan Gaya Kekuasaan Aji Mumpung: Ketika Kompetensi Dikalahkan Kepentingan
Melawan Nepotisme dan Politik Balas Budi dengan Meritokrasi, Kunci Menuju Indonesia Adil dan Bermartabat
Membangun Sistem yang Menghargai Keadilan, Sebuah Catatan Penting Menuju Indonesia Emas