Usulan Sinkronisasi Akun dengan KTP
Untuk menjawab persoalan tersebut, Qodari mendorong adanya mekanisme sinkronisasi akun media sosial dengan KTP atau identitas kependudukan.
Dengan begitu, setiap orang hanya dapat memiliki satu akun resmi, mirip dengan aturan di media massa yang memiliki identitas penulis dan redaksi yang jelas.
Menurutnya, jika langkah ini diterapkan, akuntabilitas pengguna media sosial bisa lebih terjaga.
“Media massa saja bisa tertib dengan verifikasi fakta dan identitas jelas. Harapannya, media sosial juga bisa punya akuntabilitas yang sama,” tambahnya.
Wacana ini tentu memantik diskusi luas. Sebagian pihak mendukung karena dianggap mampu mengurangi penyebaran hoaks, sementara sebagian lain khawatir akan mengekang kebebasan berekspresi serta menimbulkan risiko privasi.
Di media sosial sendiri, gagasan ini menuai pro-kontra. Pendukungnya percaya aturan ini bisa menekan polarisasi, ujaran kebencian, hingga fitnah politik menjelang pemilu.
Namun, kritik muncul dari aktivis digital dan kelompok kebebasan berekspresi yang menilai regulasi semacam ini bisa membuka celah pengawasan berlebihan terhadap warga.
“Kalau 1 orang 1 akun, berarti privasi kita akan lebih mudah dilacak. Itu bahaya,” tulis salah satu pengguna X (dulu Twitter).
Baca Juga: Korlantas Polri Resmi Larang Penggunaan Sirine Patwal, Respons Publik Jadi Sorotan
Sementara itu, akademisi komunikasi menilai perlu ada jalan tengah. Identitas boleh diverifikasi, tapi tetap harus ada jaminan perlindungan data pribadi agar masyarakat merasa aman.
Tantangan Regulasi di Indonesia
Wacana “1 orang 1 akun medsos” bukan hal baru di dunia. Beberapa negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan sudah menerapkan aturan verifikasi identitas pengguna.
Namun di Indonesia, implementasi semacam ini menghadapi tantangan besar: mulai dari infrastruktur kependudukan digital, penegakan hukum, hingga kesiapan platform global.