“Dari hutan, kami bisa mendapatkan segala kebutuhan kami. Kami tidak bisa dipisahkan dengan hutan adat kami.”
Ungkapan ini menggambarkan keterikatan emosional dan spiritual yang dalam antara masyarakat adat dan alam.
Bagi mereka, hutan bukan sekadar sumber daya, tapi bagian dari identitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Garnett pada tahun 2018 mengungkap fakta mengejutkan: seperempat wilayah daratan dunia saat ini dikelola oleh masyarakat adat.
Menariknya, sebagian besar wilayah tersebut masih alami dan menjadi kantong terakhir keanekaragaman hayati global.
Artinya, tanpa peran masyarakat adat, planet ini bisa kehilangan sistem penyangga kehidupan yang paling berharga.
Molnar, seorang pakar konservasi, bahkan menekankan bahwa perspektif masyarakat adat sangat penting dalam merumuskan kebijakan konservasi, baik di tingkat lokal maupun global.
Sayangnya, banyak kebijakan lingkungan saat ini masih minim melibatkan suara mereka.
Ironisnya, yang selama ini menjaga malah tak diberi ruang untuk bicara.
Kita pun harus bertanya: kenapa solusi yang sudah terbukti justru tak dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan?
Baca Juga: Nuzulul Quran dan Pesan Al-Qur'an, Kenali Istilah Ekologis yang Bisa Ubah Cara Kita Menjaga Bumi
Krisis iklim bukan sekadar soal suhu yang naik atau banjir yang makin sering datang.
Ini adalah krisis cara pandang.
Selama kita masih memosisikan alam sebagai sesuatu yang bisa dikendalikan, bukan dijaga, maka solusi sejati hanya akan jadi wacana kosong.