HUKAMANEWS GreenFaith - Di tengah gelombang krisis ekologis yang melanda Indonesia—mulai dari perampasan lahan, degradasi lingkungan, hingga marginalisasi masyarakat adat dan petani—riset kerap dianggap sebagai aktivitas netral, teknokratis, dan terpisah dari perjuangan rakyat. Namun pandangan itu coba digugat dalam sesi pelatihan Green Youth Quake Training bertema “Dari Riset untuk Perubahan”, yang digelar di Bogor akhir Juli lalu.
Eko Cahyono, peneliti senior dari Sajogyo Institute, menyampaikan gagasannya bahwa riset harus menjadi alat perjuangan sosial, bukan sekadar pemahaman intelektual.
Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB Unversity ini hadir sebagai pembicara dalam kegiatan Green Youth Quake Training yang digelar Senin (2/7/2025), oleh GreenFaith Indonesia bekerja sama dengan Enter Nusantara dan Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar, di Bogor.
“Kalau riset biasa itu untuk memahami (to understand), maka kaji tindak dilakukan untuk perubahan sosial (to social change),” tegas Eko membuka sesinya.
Ia memperkenalkan pendekatan riset aksi-partisipatif yang berpijak pada keterlibatan langsung bersama komunitas terdampak. Pendekatan ini, menurutnya, menempatkan masyarakat sebagai subjek pengetahuan, bukan sekadar objek penelitian.
Dalam berbagai wilayah konflik ekologis yang pernah ia teliti, mulai dari Kepulauan Aru, Danau Toba, hingga Halmahera, riset menjadi alat penting untuk mengungkap praktik-praktik ketidakadilan yang kerap tak terlihat oleh media atau negara.
Di Kepulauan Aru, misalnya, riset digunakan untuk menelusuri relasi budaya dan sejarah masyarakat dengan tanah adat mereka yang hendak diambil alih negara. Di Danau Toba, riset membongkar bagaimana proyek ekowisata justru menggusur warga lokal atas nama pelestarian.
Sedangkan di Halmahera, ia menyoroti keterlibatan lembaga keagamaan dalam legitimasi perampasan tanah.
Namun bagi Eko, kekuatan data tidak cukup jika tidak disuarakan dengan cara yang menyentuh publik. Maka, ia dan timnya mencoba mengolah hasil riset menjadi bentuk komunikasi yang lebih hidup, mulai dari teater rakyat, lagu, hingga film dokumenter.
“Riset itu nggak akan bunyi kalau nggak tahu cara mengemasnya,” katanya.
“Tujuan akhirnya bukan laporan, tapi perubahan nyata.”
Pesan Eko menjadi pemantik refleksi mendalam bagi para peserta pelatihan. Banyak di antara mereka yang sebelumnya memandang riset sebagai wilayah akademik yang jauh dari perjuangan sosial. Namun, sesi ini membuka ruang pandang baru bahwa pengetahuan bisa menjadi senjata politik, ketika berpihak dan digunakan secara strategis.
Salah satu contoh yang disampaikan Eko menunjukkan kekuatan itu datang dari generasi muda. Ia menyebut kampanye komunitas penggemar K-pop, Army BTS Indonesia, yang berhasil menekan perusahaan raksasa Hyundai untuk menghentikan proyek tambang di Kalimantan Utara.
“Walhi sudah bertahun-tahun kampanye, gak digubris. Tapi ketika Army BTS turun tangan, dua bulan saja izin tambang bisa dicabut. Itu kekuatan anak muda,” tegasnya.
Artikel Selanjutnya
Green Youth Quake: Ketika Pemuda NU dan Muhammadiyah Bangkit Hadapi Krisis Iklim
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Artikel Terkait
Green Youth Quake: Ketika Pemuda NU dan Muhammadiyah Bangkit Hadapi Krisis Iklim
Ekofeminisme dan Suara Perempuan di Tengah Krisis Iklim
Agama, Alam, dan Kapitalisme: Refleksi Islam atas Krisis Ekologis Global
Tambang, Oligarki, dan Perlawanan Rakyat: Wajah Buram Ekonomi Politik SDA
Greenpeace Beberkan Jurus Kampanye Menggugah Opini Publik dan Menggoyang Kebijakan Lingkungan
Ketika Utang Jadi Dosa Jariah, Hening Parlan Tawarkan Jalan Baru Pendanaan Transisi Energi
Kapitalisme dan Ruang Hidup: Suara Kritis dari Pesantren Ekologi Bogor
Menolak Tenggelam: Suara dari Pulau Pari untuk Keadilan Iklim
Suara Perempuan dari Pesantren untuk Keadilan Iklim