HUKAMANEWS GreenFaith — Di tengah gempuran proyek-proyek pembangunan yang kerap mengorbankan ruang hidup rakyat kecil, suara perempuan dari pesantren kembali mengingatkan pentingnya keberpihakan terhadap lingkungan.
Dalam sebuah diskusi bertajuk Islam dan Perlawanan Perempuan dalam Penghancuran Lingkungan di Indonesia, Siti Barokah, pengurus Pondok Pesantren Misykat Al Anwar, menyerukan perlunya perlawanan atas kerusakan lingkungan yang berlangsung sistematis dan struktural, terutama yang melibatkan perempuan sebagai garda depan perjuangan.
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Green Youth Quake, sebuah forum kolaboratif lima hari (25–29 Juli 2025) yang mempertemukan 30 pemuda-pemudi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dari delapan provinsi. Kegiatan ini diselenggarakan oleh GreenFaith Indonesia, Enter Nusantara, dan Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar.
Acara dibuka dengan pemutaran film dokumenter Our Mother Land yang menggambarkan perlawanan perempuan di berbagai daerah dalam mempertahankan ruang hidup mereka dari ekspansi industri dan perampasan lahan. Moderator membuka ruang refleksi, mengajak peserta menelaah makna perjuangan lingkungan dari sudut pandang perempuan, terutama dalam konteks dunia akademik dan aktivisme.
Siti Barokah menekankan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dilepaskan dari model ekonomi kapitalistik yang menomorsatukan akumulasi laba.
“Logika kapitalisme menuntut modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya. Dalam proses itu, alam dan manusia—terutama perempuan—dikorbankan,” ungkapnya.
Ia menyoroti bagaimana kerja perempuan, terutama kerja domestik dan perawatan, seringkali tidak dihitung sebagai kontribusi ekonomi.
“Banyak kerja perempuan dianggap tidak bernilai. Tenaga mereka dibayar rendah atau malah tidak dibayar sama sekali,” ujarnya.
Realitas ini menunjukkan ketimpangan sistemik yang melanggengkan beban ganda perempuan di tengah krisis ekologi.
Ketimpangan Gender dan Ekologi
Dampak kerusakan lingkungan memang meluas, namun perempuan kerap menanggung beban yang lebih besar karena peran domestik yang dilekatkan secara sosial. Air yang tercemar, gagal panen, dan bencana ekologis langsung berdampak pada kebutuhan dasar yang umumnya dikelola perempuan dalam rumah tangga.
Meski angka partisipasi pendidikan tinggi perempuan meningkat, Siti mengingatkan bahwa itu bukan akhir dari perjuangan.
“Ngomong soal gender equality, seharusnya perempuan dan laki-laki punya hak dan peran yang sama dalam menuntut ilmu dan mengelola kebijakan. Dunia tidak bisa diserahkan hanya kepada satu gender,” ujarnya.
Siti juga mengkritik proyek-proyek pembangunan yang justru melegalkan perampasan ruang hidup rakyat. Program seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) dan penetapan objek vital nasional seringkali menjadi kedok legal bagi ekspansi industri.
Perlawanan warga, lanjutnya, justru dikonstruksi sebagai ancaman terhadap negara dan kerap berujung pada kriminalisasi.
Artikel Terkait
Green Youth Quake: Ketika Pemuda NU dan Muhammadiyah Bangkit Hadapi Krisis Iklim
Ekofeminisme dan Suara Perempuan di Tengah Krisis Iklim
Agama, Alam, dan Kapitalisme: Refleksi Islam atas Krisis Ekologis Global
Tambang, Oligarki, dan Perlawanan Rakyat: Wajah Buram Ekonomi Politik SDA
Greenpeace Beberkan Jurus Kampanye Menggugah Opini Publik dan Menggoyang Kebijakan Lingkungan
Ketika Utang Jadi Dosa Jariah, Hening Parlan Tawarkan Jalan Baru Pendanaan Transisi Energi
Kapitalisme dan Ruang Hidup: Suara Kritis dari Pesantren Ekologi Bogor
Menolak Tenggelam: Suara dari Pulau Pari untuk Keadilan Iklim