HUKAMANEWS GreenFaith – Dalam sebuah sesi diskusi yang hangat, Roy Murtadho, pendiri Pesantren Ekologi Misykat al Anwar, membuka wawasan 30 pemuda Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dari delapan provinsi mengenai bahaya laten kapitalisme dan tata kelola ruang yang timpang.
Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Green Youth Quake yang berlangsung selama lima hari (25–29 Juli 2025) di Pesantren Ekologi Misykat al Anwar, Dramaga, Bogor. Acara diselenggarakan oleh Greenfaith Indonesia, Enter Nusantara, dan Misykat al Anwar.
Dalam paparannya, Gus Roy, demikian dia kerap disapa, menegaskan bahwa persoalan kapitalisme bukan sekadar soal moralitas, melainkan menyangkut logika tata kelola ruang dan sumber daya yang dibajak oleh sistem neoliberal.
“Kapitalisme itu bukan soal serakah atau tidak, seperti sering diucapkan politisi. Ini soal bagaimana ruang dikendalikan oleh segelintir elite demi akumulasi modal,” ujar Gus Roy.
Ia mengajak peserta memahami kapitalisme dari akar sejarahnya, terutama melalui konsep primitive accumulation atau perampasan sumber daya secara sistematis.
“Apa yang kita lihat hari ini dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sebenarnya kelanjutan dari logika neoliberal: ruang dibuat tunduk pada kepentingan kapital, bukan rakyat,” tambahnya.
Politik Ruang dan Kutukan Sumber Daya
Mengutip pemikir Henri Lefebvre, Gus Roy menyampaikan bahwa ruang adalah arena kontestasi kekuasaan.
“There is a politics of space because space is political,” katanya, menekankan bahwa dalam sistem kapitalisme global, negara-negara Global South seperti Indonesia hanya menjadi penyedia bahan mentah.
“Kita ini seperti tukang cuci kloset dalam sistem ekonomi global,” kata Gus Roy, mengutip Dawam Raharjo, ekonom Islam dari Muhammadiyah.
Ia menjelaskan bagaimana ruang material seperti tanah dan laut diperebutkan melalui proyek pembangunan, sementara masyarakat lokal dikorbankan.
“Kasus Wawoni’i, di mana warga diusir demi tambang nikel, itu contoh paling telanjang,” tegasnya.
Negara, Pasar, dan NGO
Salah satu sorotan tajam Gus Roy adalah bagaimana negara kini hanya menjadi fasilitator bagi kepentingan kapitalis, sementara peran masyarakat sipil dikebiri melalui apa yang ia sebut sebagai “NGOisasi gerakan.”