analisis

Catatan Kritis untuk Presiden Prabowo: Jalan Pintas Impor dan Ancaman terhadap Kemandirian Ekonomi

Kamis, 17 April 2025 | 20:31 WIB
Ilustrasi Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan Prabowo yang akan membuka kran impor seluas-luasnya berpotensi mengancam keberlangsungan usaha produk lokal dan menekan ekonomi rakyat.

HUKAMANEWS - Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membebaskan tarif impor dan membuka kran impor tanpa batas adalah alarm bagi masa depan kedaulatan ekonomi bangsa. Alih-alih memperkuat produksi nasional, kebijakan ini justru membuka pintu bagi banjir produk asing yang bisa melumpuhkan petani, UMKM, dan industri dalam negeri.

Dr Pieter C. Zulkifli, SH., MH., pengamat hukum dan politik, menyebut langkah ini sebagai bentuk “bunuh diri struktural” yang menggadaikan kemandirian demi logika pasar bebas yang semu dan menyesatkan. Berikut catatan lengkapnya. 

*** 

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto tentang rencana membebaskan tarif impor dan membuka kran impor seluas-luasnya menuai sorotan tajam. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan dan menurunkan harga, kebijakan ini justru mencerminkan pendekatan instan yang berpotensi melemahkan sektor produksi dalam negeri. Di tengah tantangan global dan krisis pangan, pilihan membuka keran impor tanpa batas bisa menjadi jalan pintas yang keliru—mengorbankan petani, UMKM, serta semangat kemandirian ekonomi bangsa. 

Sektor pertanian Indonesia selama ini menghadapi persoalan struktural: rendahnya produktivitas, keterbatasan akses terhadap teknologi, distribusi yang tidak efisien, serta praktik tata niaga yang tidak adil. Di sisi lain, kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani dan nelayan membuat posisi mereka kian terpinggirkan. Jika problem utama ini tak dibenahi, membuka keran impor justru akan memperburuk keadaan. 

Kebijakan impor bebas memang menjanjikan harga lebih murah bagi konsumen dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, ia bisa melemahkan insentif produksi dalam negeri. Petani dan pelaku usaha kecil tidak akan mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah, yang sering kali hadir dengan subsidi besar dari negara asalnya. Ketika produksi dalam negeri merosot, kita bukan hanya kehilangan sumber penghidupan bagi jutaan rakyat, tetapi juga ketahanan nasional yang sesungguhnya. 

Di negara-negara maju, proteksi terhadap sektor strategis seperti pertanian dan energi justru diperkuat. Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Jepang memberikan subsidi, perlindungan harga, bahkan tarif masuk tinggi bagi produk tertentu demi menjaga kedaulatan pangan mereka. Sementara Indonesia, dengan struktur ekonomi yang masih rapuh, justru hendak meliberalisasi sektor-sektor vital tanpa peta jalan yang jelas. 

Impor bebas dan perdagangan bebas memiliki dampak ekonomi yang beragam. Secara umum, kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan devisa negara, dan memberikan pilihan yang lebih luas bagi konsumen. Namun di sisi lain, impor bebas juga berpotensi mengancam keberlangsungan industri dalam negeri, meningkatkan ketidakpastian pasar, serta memperbesar ketimpangan ekonomi.

Dalam konteks perdagangan internasional, kebijakan impor memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian suatu negara, terutama pada sektor-sektor vital yang menyangkut hajat hidup masyarakat, seperti pertanian dan usaha mikro.

Pernyataan terbaru Presiden Prabowo Subianto terkait kebijakan impor layak dikritisi, karena berpotensi mengancam keberlangsungan usaha produk lokal dan menekan ekonomi rakyat. Industri-industri menengah dan besar pun akan terdampak oleh perubahan ini. Tanpa langkah mitigasi yang tepat, banyak kegiatan industri nasional berisiko gulung tikar. Hal ini dapat memicu inflasi, peningkatan angka pengangguran, serta melonjaknya berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Pertanyaan pentingnya: siapa yang akan paling diuntungkan dari kebijakan ini? Konsumen kelas menengah mungkin menikmati harga beras atau daging yang lebih murah. Namun petani kecil, nelayan, dan pelaku industri lokal akan menghadapi tekanan berat. Tak hanya itu, pelonggaran impor juga berpotensi membuka ruang lebih lebar bagi kartel dan mafia pangan untuk bermain di pasar dengan kontrol yang minim. Tanpa pengawasan ketat dan kebijakan pendamping yang kuat, liberalisasi impor hanya akan memperbesar ketimpangan.

Kemandirian ekonomi bukan sekadar slogan. Ia membutuhkan komitmen jangka panjang: memperkuat produksi dalam negeri, meningkatkan kapasitas petani dan UMKM, serta menciptakan sistem distribusi yang adil dan efisien. Pemerintah tidak bisa terus-menerus menggantungkan kebutuhan pokok rakyat pada pasar global yang penuh gejolak dan ketidakpastian.

Presiden Prabowo, dengan latar belakang nasionalisme yang kuat, semestinya paham bahwa pertahanan negara tak hanya dibangun lewat alutsista. Ketahanan pangan dan energi adalah bagian penting dari strategi keamanan nasional. Kemandirian ekonomi bukanlah bentuk isolasi dari pasar global, melainkan strategi cerdas untuk menjaga kedaulatan dan daya saing bangsa.

Kebijakan pembebasan tarif impor dan pelonggaran impor secara luas harus dikaji ulang dengan hati-hati. Harus ada dialog terbuka antara pemerintah dan pelaku usaha dalam negeri, petani, akademisi, dan masyarakat sipil. Proses perumusan kebijakan strategis semacam ini tak boleh hanya berdasarkan pendekatan makroekonomi sempit, tetapi harus mempertimbangkan dampak sosial dan keberlanjutan jangka panjang.

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB