HUKAMANEWS - Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membebaskan tarif impor dan membuka kran impor tanpa batas adalah alarm bagi masa depan kedaulatan ekonomi bangsa. Alih-alih memperkuat produksi nasional, kebijakan ini justru membuka pintu bagi banjir produk asing yang bisa melumpuhkan petani, UMKM, dan industri dalam negeri.
Dr Pieter C. Zulkifli, SH., MH., pengamat hukum dan politik, menyebut langkah ini sebagai bentuk “bunuh diri struktural” yang menggadaikan kemandirian demi logika pasar bebas yang semu dan menyesatkan. Berikut catatan lengkapnya.
***
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto tentang rencana membebaskan tarif impor dan membuka kran impor seluas-luasnya menuai sorotan tajam. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan dan menurunkan harga, kebijakan ini justru mencerminkan pendekatan instan yang berpotensi melemahkan sektor produksi dalam negeri. Di tengah tantangan global dan krisis pangan, pilihan membuka keran impor tanpa batas bisa menjadi jalan pintas yang keliru—mengorbankan petani, UMKM, serta semangat kemandirian ekonomi bangsa.
Sektor pertanian Indonesia selama ini menghadapi persoalan struktural: rendahnya produktivitas, keterbatasan akses terhadap teknologi, distribusi yang tidak efisien, serta praktik tata niaga yang tidak adil. Di sisi lain, kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani dan nelayan membuat posisi mereka kian terpinggirkan. Jika problem utama ini tak dibenahi, membuka keran impor justru akan memperburuk keadaan.
Kebijakan impor bebas memang menjanjikan harga lebih murah bagi konsumen dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, ia bisa melemahkan insentif produksi dalam negeri. Petani dan pelaku usaha kecil tidak akan mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah, yang sering kali hadir dengan subsidi besar dari negara asalnya. Ketika produksi dalam negeri merosot, kita bukan hanya kehilangan sumber penghidupan bagi jutaan rakyat, tetapi juga ketahanan nasional yang sesungguhnya.
Di negara-negara maju, proteksi terhadap sektor strategis seperti pertanian dan energi justru diperkuat. Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Jepang memberikan subsidi, perlindungan harga, bahkan tarif masuk tinggi bagi produk tertentu demi menjaga kedaulatan pangan mereka. Sementara Indonesia, dengan struktur ekonomi yang masih rapuh, justru hendak meliberalisasi sektor-sektor vital tanpa peta jalan yang jelas.
Impor bebas dan perdagangan bebas memiliki dampak ekonomi yang beragam. Secara umum, kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan devisa negara, dan memberikan pilihan yang lebih luas bagi konsumen. Namun di sisi lain, impor bebas juga berpotensi mengancam keberlangsungan industri dalam negeri, meningkatkan ketidakpastian pasar, serta memperbesar ketimpangan ekonomi.
Dalam konteks perdagangan internasional, kebijakan impor memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian suatu negara, terutama pada sektor-sektor vital yang menyangkut hajat hidup masyarakat, seperti pertanian dan usaha mikro.
Pernyataan terbaru Presiden Prabowo Subianto terkait kebijakan impor layak dikritisi, karena berpotensi mengancam keberlangsungan usaha produk lokal dan menekan ekonomi rakyat. Industri-industri menengah dan besar pun akan terdampak oleh perubahan ini. Tanpa langkah mitigasi yang tepat, banyak kegiatan industri nasional berisiko gulung tikar. Hal ini dapat memicu inflasi, peningkatan angka pengangguran, serta melonjaknya berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat.
Kemandirian ekonomi bukan sekadar slogan. Ia membutuhkan komitmen jangka panjang: memperkuat produksi dalam negeri, meningkatkan kapasitas petani dan UMKM, serta menciptakan sistem distribusi yang adil dan efisien. Pemerintah tidak bisa terus-menerus menggantungkan kebutuhan pokok rakyat pada pasar global yang penuh gejolak dan ketidakpastian.
Presiden Prabowo, dengan latar belakang nasionalisme yang kuat, semestinya paham bahwa pertahanan negara tak hanya dibangun lewat alutsista. Ketahanan pangan dan energi adalah bagian penting dari strategi keamanan nasional. Kemandirian ekonomi bukanlah bentuk isolasi dari pasar global, melainkan strategi cerdas untuk menjaga kedaulatan dan daya saing bangsa.
Kebijakan pembebasan tarif impor dan pelonggaran impor secara luas harus dikaji ulang dengan hati-hati. Harus ada dialog terbuka antara pemerintah dan pelaku usaha dalam negeri, petani, akademisi, dan masyarakat sipil. Proses perumusan kebijakan strategis semacam ini tak boleh hanya berdasarkan pendekatan makroekonomi sempit, tetapi harus mempertimbangkan dampak sosial dan keberlanjutan jangka panjang.
Artikel Terkait
Danantara, Ambisi Besar Prabowo di Tengah Ancaman Korupsi dan Sengkarut Birokrasi
Memberantas Korupsi Sambil Korupsi, Saat Hukum Jadi Dagangan di Meja Kekuasaan
UU TNI dan Bahaya Delegitimasi Kekuasaan: Lampu Kuning untuk Pemerintahan Prabowo
Premanisme Berkedok THR, Ancaman bagi Industri dan Stabilitas Nasional
Reshuffle Kabinet dan Ujian Kredibilitas Pemerintahan Prabowo
Ketika Religiusitas Dijadikan Topeng Kekuasaan; Etika Berbangsa di Persimpangan Jalan
Membantu Gaza, Melupakan Rumah Sendiri, Catatan Kritis untuk Prabowo