Premanisme Berkedok THR, Ancaman bagi Industri dan Stabilitas Nasional

photo author
- Selasa, 25 Maret 2025 | 09:08 WIB
Fenomena pemerasan berkedok THR kerap menghantui pengusaha saat menjelang Lebaran. Perlu ketegasan dari aparat keamanan untuk memberantasi aksi premanisme ini agar tak mengganggu investasi nasional.
Fenomena pemerasan berkedok THR kerap menghantui pengusaha saat menjelang Lebaran. Perlu ketegasan dari aparat keamanan untuk memberantasi aksi premanisme ini agar tak mengganggu investasi nasional.

 

HUKAMANEWS - Tiap jelang Lebaran, premanisme berkedok ormas selalu beraksi, memalak pengusaha atas nama Tunjangan Hari Raya (THR). Dengan ancaman menutup akses, menyegel pabrik, hingga merusak aset, mereka menekan dunia usaha tanpa takut hukum. Aparat terkesan abai, sementara pengusaha terpaksa tunduk demi kelangsungan bisnis. Ironisnya, kedekatan ormas dengan elite politik membuat mereka semakin berani, bahkan mencatut nama pejabat untuk menguatkan legitimasi pemerasan. 

Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya berpendapat, jika dibiarkan, premanisme ini bukan sekadar ancaman bagi dunia usaha, tetapi juga stabilitas ekonomi nasional. Mantan Ketua Komisi III DPR ini menyerukan saatnya negara menunjukkan ketegasan. Jika hukum tak lagi menjadi panglima, maka Indonesia hanya akan menjadi surga bagi para bandit berseragam ormas. Berikut ini catatan lengkapnya. 

*** 

MENJELANG hari raya, dunia usaha di Indonesia kembali dihantui oleh praktik pemalakan berkedok permintaan tunjangan hari raya (THR). Berbagai organisasi masyarakat (ormas) menggunakan cara-cara intimidatif seperti menutup akses perusahaan, merusak gerbang, hingga menyegel pabrik. Fenomena ini bukan hanya merugikan pengusaha, tetapi juga menciptakan ketidakpastian ekonomi dan menghambat investasi. 

Berbagai kasus menunjukkan bagaimana ormas tertentu mengatasnamakan kepentingan sosial dan keamanan lingkungan untuk melakukan pemerasan terhadap pelaku industri. Sejumlah video viral memperlihatkan oknum yang secara terang-terangan meminta THR kepada perusahaan dengan ancaman menutup akses jalan atau merusak properti jika permintaan mereka tidak dipenuhi. 

Di Bekasi, misalnya, seorang pria mengaku sebagai "jagoan" dari Cikiwul meminta THR dengan ancaman akan menutup jalan akses ke perusahaan. Di Depok, ormas bahkan mengklaim bahwa dana yang mereka minta akan digunakan untuk "social control" keamanan. Di Tangerang, surat permintaan THR dari ormas dengan kop surat resmi beredar luas. Bahkan di beberapa daerah, ormas-ormas ini bukan hanya meminta, tetapi juga menyegel pabrik dan menjarah aset jika tidak diberikan jatah yang diminta. 

Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa ormas memanfaatkan kedekatan dengan elite politik untuk melancarkan aksinya. Bahkan, nama tokoh tertentu kerap dicatut guna memperkuat legitimasi mereka dalam menekan pengusaha. Isu lain yang berkembang menyebutkan adanya upaya kelompok tertentu untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Kalimantan Barat, namun menghadapi penolakan keras dari masyarakat Dayak. Jika dibiarkan, situasi ini berpotensi memicu konflik sosial yang dapat mengancam stabilitas ekonomi nasional. 

Ancaman terhadap Dunia Usaha dan Investasi 

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengungkapkan bahwa praktik pemerasan ini telah menyebabkan kerugian triliunan rupiah bagi dunia usaha. Selain biaya tambahan, operasional industri juga terganggu. Bahkan, di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah dan Riau, ormas yang tidak diberi THR menjarah hasil perkebunan kelapa sawit. Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menyebut tindakan ini semakin meresahkan industri. 

Praktik premanisme ormas tidak hanya merugikan pengusaha lokal, tetapi juga mengancam iklim investasi di Indonesia. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2024, Indonesia mendapat skor rendah dalam indikator kemudahan berusaha, terutama pada aspek keamanan dan penegakan hukum. Premanisme yang merajalela semakin memperburuk citra Indonesia di mata investor asing.

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Contoh nyata adalah investasi Apple dan Microsoft yang lebih memilih Vietnam dan Malaysia sebagai destinasi utama, sementara di Indonesia mereka hanya menanamkan dana dalam jumlah kecil. Jika premanisme terus dibiarkan, bukan tidak mungkin investor akan semakin menjauhi Indonesia. 

Ketidaktegasan Aparat dan Lemahnya Hukum 

Fenomena ini menyoroti lemahnya tindakan hukum terhadap ormas yang bertindak di luar batas. Meskipun aparat keamanan seharusnya berperan sebagai pelindung hukum dan ketertiban, nyatanya banyak pelaku industri yang mengeluhkan bahwa aparat justru sering kali tidak bertindak tegas. Dalam beberapa kasus, preman-preman ini bahkan berani melecehkan aparat dan melakukan tindakan anarkis seperti pembakaran properti perusahaan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X