Memberantas Korupsi Sambil Korupsi, Saat Hukum Jadi Dagangan di Meja Kekuasaan

photo author
- Sabtu, 15 Maret 2025 | 08:27 WIB
Ilustras memberantas korupsi dengan korupsi.
Ilustras memberantas korupsi dengan korupsi.

HUKAMANEWS – Korupsi di Indonesia bukan sekadar penyakit, tetapi telah menjadi sistem yang dilanggengkan oleh para penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin rakyat diminta percaya pada institusi penegak hukum, Kejaksaan Agung, KPK, dan Mahkamah Agung, ketika pejabat puncaknya justru meloloskan koruptor dengan kerugian Negara triliunan rupiah? Bagaimana mungkin KPK bisa diandalkan jika ketuanya sendiri terlibat dalam mafia anggaran? Dan masih banyak kasus-kasus besar lainnya kemudian menguap dan hilang tanpa bekas.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, S.H., M.H., dalam analisis politiknya menegaskan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini tak lebih dari sandiwara untuk menipu publik. Sementara itu, uang rakyat terus dijarah oleh para penyamun berseragam. Para elite yang sok cinta rakyat, seolah-olah berjuang untuk rakyat, justru menjadi aktor besar lalu merampok dan menjarah uang Negara. Berikut ini catatan lengkapnya.

***

KORUPSI di Indonesia telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Ironi terbesar terjadi ketika mereka yang seharusnya memberantas korupsi justru terjerat dalam pusaran korupsi itu sendiri. Meski terasa getir, namun fenomena “memberantas sambil korupsi” bukan lagi kasus yang mengejutkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dulu dianggap sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi, kini mengalami kemunduran besar. Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri, justru terlibat dalam skandal korupsi di Kementerian Pertanian. Bukannya menjadi simbol integritas, ia malah terseret dalam mafia anggaran dan jual beli jabatan. Kasus ini menunjukkan bahwa KPK sudah tidak lagi steril dari praktik korupsi yang selama ini mereka perangi.

Tak hanya KPK, Polri pun tercoreng oleh berbagai skandal. Kasus Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya sendiri demi menutupi kejahatan yang lebih besar, serta Irjen Teddy Minahasa yang seharusnya memberantas narkoba tetapi justru terlibat dalam jual beli barang haram, semakin memperjelas betapa bobroknya sistem penegakan hukum di negeri ini.

Sementara itu, lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan malah menjadi sarang mafia hukum. Baru-baru ini, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap karena menerima suap untuk memberikan vonis bebas bagi Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera. Penyidik bahkan menemukan uang suap sebesar Rp20 miliar yang tersebar di enam lokasi berbeda.

Kasus ini semakin menegaskan bahwa hukum di Indonesia bukan lagi soal keadilan, tetapi soal rendahnya moral dan siapa yang memiliki modal banyak dapat mempengaruhi berbagai kebijakan, yang lebih mengejutkan lagi, uang dalam jumlah besar bisa membeli jabatan dan kekuasaan. Ketika keadilan dapat diperjualbelikan, maka rakyat kecil hanya bisa pasrah memikul berbagai macam penderitaan dengan kenyataan bahwa selama ini hukum memang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Negara dalam Genggaman Penjarah Uang Rakyat

Korupsi yang melibatkan hampir semua institusi penting di negeri ini membuktikan bahwa Indonesia kini dikuasai oleh para penyamun yang menjarah uang rakyat tanpa rasa malu. Korupsi di kalangan elite politik dan penegak hukum tidak hanya menghambat pembangunan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.

Rendahnya moral dan buruknya sistem menjadi faktor utama mengapa korupsi terus mengakar. Hingga kini, belum ada komitmen serius dari pimpinan partai politik untuk menciptakan sistem yang kuat dan bersih dari korupsi. Bahkan, dari tahun ke tahun, data menunjukkan tren peningkatan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik dan aparat penegak hukum.

Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur pemberantasan korupsi, implementasinya masih lemah. Ambiguitas regulasi, rendahnya sanksi hukum, serta kurangnya transparansi dalam pengawasan internal menjadi kendala utama dalam upaya menciptakan sistem hukum yang bersih.

Dari rezim ke rezim, badai korupsi terus menghantam berbagai lembaga negara dan BUMN. Kasus-kasus seperti rekening gendut Kementerian Keuangan sebesar Rp 349 triliun yang pernah disampaikan oleh Mahfud MD, skandal Asabri, Jiwasraya, Bumiputera, PLN, PT Timah, emas palsu Antam 109 ton, Pertamina, penjarahan yang mwngakibatkan kerusakan hutan, kegiatan pertambangan ilegal menjadi bukti nyata betapa parahnya korupsi di negeri ini.

Pertanyaannya, apakah penegak hukum benar-benar serius menangkap, menghukum, dan merampas harta para pelaku kejahatan korupsi untuk dikembalikan kepada negara? Ataukah semua ini hanya drama yang dimainkan untuk sekadar menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih berjalan?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X