HUKAMANEWS - Di negeri ini, doa hampir selalu hadir di setiap acara resmi. Simbol keagamaan pun mudah ditemukan, dari ruang rapat pejabat hingga panggung politik. Tapi, apakah semua itu mencerminkan kedalaman iman dan nilai moral? Ketika korupsi tetap merajalela, hukum tak lagi adil, dan kesenjangan sosial terus melebar, muncul pertanyaan mendasar: benarkah kita bangsa yang religius, atau hanya piawai dalam ritual?
Dalam tulisan ini, pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., mengajak kita melihat lebih jujur—bahwa sering kali, agama hanya menjadi hiasan luar tanpa perubahan nyata dalam laku kehidupan dan arah kepemimpinan bangsa.
***
DI BERBAGAI forum resmi, mulai dari rapat kementerian hingga sidang parlemen, pembacaan doa menjadi pembuka dan penutup yang nyaris tak pernah absen. Di tengah hiruk-pikuk kontestasi politik, para tokoh berlomba tampil dengan simbol keagamaan. Namun, fakta-fakta di lapangan menunjukkan realitas yang kontras: korupsi tetap marak, ketimpangan sosial kian dalam, dan hukum kerap tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia, alih-alih menjadi negara religius sebagaimana kerap digambarkan, justru lebih menyerupai negara ritualis. Doa dan simbol keagamaan dijadikan bagian dari seremoni dan formalitas publik, namun tak diiringi oleh transformasi moral yang nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Doa seharusnya merupakan ekspresi kesadaran akan nilai kebaikan, keadilan, dan pengabdian kepada sesuatu yang lebih tinggi dari kepentingan pribadi. Namun dalam praktik kenegaraan, doa kerap kali hanya menjadi pembuka dan penutup acara yang kehilangan substansi. Bahkan, tidak jarang doa menjadi selubung yang menutupi agenda-agenda yang bertentangan dengan nilai moral itu sendiri.
Tidak sedikit rapat yang dibuka dengan doa justru melahirkan kebijakan yang berpihak pada oligarki, atau bahkan menyetujui proyek-proyek yang sarat dengan potensi penyelewengan anggaran. Bukti empiris menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan melibatkan aktor dari berbagai tingkat kekuasaan, termasuk mereka yang secara terbuka menyatakan diri sebagai tokoh religius.
Korupsi dan Kontradiksi Religius
Indonesia menempati peringkat yang memalukan dalam Indeks Persepsi Korupsi Transparency International. Padahal, negara ini memiliki jumlah masjid, gereja, dan tempat ibadah lain yang sangat banyak. Setiap hari, suara azan bergema, kebaktian digelar, dan ritual keagamaan dilakukan dengan khidmat. Namun, semua itu tidak berkorelasi dengan integritas moral.
Korupsi di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh individu, tetapi telah menjadi sistem yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari proyek infrastruktur hingga bantuan sosial, uang rakyat dikorupsi dengan cara yang sistematis. Yang lebih ironis, banyak dari pelakunya justru aktif di organisasi keagamaan. Mereka rajin mengisi pengajian, menjadi donatur pembangunan masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya, atau bahkan berceramah tentang moralitas—tetapi di saat yang sama, mereka menggelapkan uang negara.
Inilah bukti bahwa agama telah direduksi menjadi sekadar identitas, bukan landasan etik. Orang-orang merasa sudah cukup "religius" karena menjalankan ritual agama, tetapi tidak merasa perlu jujur dalam mengelola keuangan publik. Agama menjadi seperti baju yang dipakai untuk menutupi borok-borok ketidakadilan.
Agama sebagai Legitimasi Politik
Penting untuk membedakan antara ekspresi religius secara simbolik dengan internalisasi nilai-nilai etika agama dalam tindakan nyata. Religiusitas sejati tercermin dari kejujuran, integritas, dan kepedulian terhadap sesama. Sementara itu, apa yang sering kita saksikan adalah ekspresi keagamaan yang justru menjauh dari semangat dasar ajaran agama.
Sebagai contoh, penggunaan simbol dan jargon keagamaan oleh aktor politik atau pejabat publik kerap kali tidak disertai dengan keteladanan moral. Dalam beberapa kasus, mereka yang terbukti melakukan korupsi justru berasal dari partai atau kelompok yang mengusung identitas agama sebagai landasan perjuangannya. Hal ini menimbulkan paradoks yang mencolok dan mempertegas bahwa ritus agama tidak serta-merta menjamin kualitas moral seseorang.