HUKAMANEWS - Tahapan Pilkada Serentak 2024 telah dimulai. Berbagai manuver politik partai-partai kini semakin intens dalam mengusung jagoan mereka. Sebentar lagi, kita akan menyaksikan ribuan kandidat berlomba-lomba untuk merebut hati rakyat demi menduduki posisi strategis di pemerintahan daerah.
Dalam euforia politik ini, rakyat seringkali dianggap sebagai "pemegang kunci" demokrasi. Namun, pertanyaannya adalah: Apakah rakyat benar-benar dihargai dalam proses ini, ataukah mereka hanya dijadikan korban ambisi politik segelintir elit?
Pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., memberikan pandangan kritis mengenai fenomena Pilkada Serentak 2024. Ia mengingatkan agar rakyat tidak hanya dijadikan sebagai obyek, apalagi korban, dalam hajatan demokrasi ini.
***
DEMOKRASI, sebuah sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, seringkali digadang-gadang sebagai bentuk pemerintahan yang ideal. Namun, dalam praktiknya, demokrasi seringkali disalahgunakan untuk kepentingan segelintir kelompok. Akibatnya, rakyat yang seharusnya menjadi subjek utama dalam demokrasi justru menjadi korban atau tumbal dari kepentingan politik elit.
Dalam konteks kekinian, usai Pemilu Legeslatif dan Pemilu Presiden 2024 pada Februari lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang mempunyai gawe besar untuk menggelar hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang dilaksanakan secara serentak, pada Rabu, 27 November 2024.
Baca Juga: DPR RI Selesaikan 63 RUU Dalam Sidang 2023–2024, Termasuk Isu Penting Nasional
Demokrasi atau Sekadar Formalitas?
Pilkada adalah momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah yang diharapkan mampu membawa perubahan positif. Namun, realitasnya sering kali berbeda. Pesta demokrasi ini berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan yang mengabaikan kepentingan rakyat. Kampanye hitam hingga janji-janji palsu kerap kali menjadi senjata para calon untuk meraih kursi kekuasaan.
Banyak daerah di Indonesia juga masih terjebak dalam politik uang, di mana para kandidat yang memiliki modal besar lebih mudah memenangkan hati pemilih dengan janji-janji yang manis namun kosong. Uang, bukan visi dan misi, yang menjadi daya tarik utama bagi para pemilih yang lelah dengan janji-janji palsu dari pemimpin sebelumnya.
Rakyat akhirnya menjadi objek dari praktik politik transaksional ini. Bagi sebagian besar rakyat, terutama yang berada di lapisan ekonomi bawah, uang tunai yang diberikan oleh calon tertentu dianggap sebagai berkah yang tak boleh disia-siakan. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada pilihan yang sulit: menjual suara demi kebutuhan sesaat atau tetap bertahan dengan idealisme meski harus mengorbankan kepentingan pribadi.
Baca Juga: Tarik Ulur Kasus Mahasiswa PPDS Undip, Kementerian Kesehatan RI Komitmen Bawa ke Ranah Hukum
Padahal, pemimpin yang terpilih karena politik uang lebih cenderung mengutamakan kepentingan pihak-pihak yang membiayai kampanyenya, ketimbang memperjuangkan hak-hak rakyat. Dalam jangka panjang, rakyatlah yang menjadi korban dari kebijakan yang tidak pro-rakyat, dan ini menjadi bukti nyata bahwa rakyat telah dijadikan tumbal dalam proses demokrasi.
Kita pun melihat, para calon kepala daerah berasal dari lingkaran itu-itu saja. Ada calon kepala daerah yang sebelumnya adalah anak bupati, istri bupati, atau bahkan mantu presiden. Anehnya, partai-partai pengusung bakal calon kepala daerah, seperti kesulitan menemukan jagoan terbaik, sehingga mereka terjebak pada nama-nama tertentu. Atau, jagoan yang dipilih adalah artis bahkan pelawak dengan harapan bisa mendulang suara yang banyak. Masalah ilmu dan pengalaman, menjadi nomor sekian.