Sedangkan pelanggaran pemilu sistematis mengacu pada tindakan yang dilakukan secara konsisten dan terkoordinasi dalam skala yang luas. Ini bisa mencakup penggunaan sumber daya negara atau lembaga pemerintah untuk kepentingan politik tertentu, penekanan terhadap oposisi secara tidak adil, atau manipulasi terhadap sistem perhitungan suara.
Baca Juga: Mahfud MD Klarifikasi Tak Berkomunikasi dengan Ganjar Usai Coblos Hak Suara Karena Sedang Umroh
Contoh nyata adalah penggunaan anggaran negara untuk kepentingan kampanye oleh partai politik yang berkuasa.
Adapun pelanggaran pemilu masif merujuk pada tindakan yang dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan jumlah pemilih yang signifikan atau wilayah yang luas. Ini bisa terjadi dalam bentuk intimidasi massal terhadap pemilih, penekanan terhadap partai politik oposisi di semua tingkatan, atau manipulasi suara dalam jumlah yang sangat besar.
Contoh yang sering terjadi adalah kecurangan dalam penghitungan suara di banyak tempat pemungutan suara secara bersamaan.
Baca Juga: Prabowo di Pocast Deddy Corbuzier, Dendam itu Menghabiskan Energi
Ketika terjadi dugaan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif, pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memiliki kepentingan untuk memastikan integritas pemilu dapat mengajukan gugatan ke MK.
MK memiliki peran penting dalam memastikan keadilan dan menegakkan aturan hukum dalam proses pemilu. Mahkamah Konstitusi akan melakukan penyelidikan dan pemeriksaan yang mendalam terhadap bukti-bukti yang disajikan untuk menentukan apakah pelanggaran pemilu TSM tersebut benar-benar terjadi.
Jika MK memutuskan bahwa pelanggaran pemilu TSM terbukti, konsekuensinya dapat sangat serius. Misalnya, MK dapat membatalkan hasil pemilu, mencabut hak politik bagi pihak yang terlibat dalam pelanggaran, atau memberikan sanksi administratif atau pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, Pasal 286 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas dan keadilan proses demokrasi di Indonesia. Melalui penegakan hukum yang tegas dan adil, diharapkan pemilu di Indonesia dapat berlangsung secara transparan, bebas, dan adil, sehingga suara rakyat benar-benar tercermin dalam hasil pemilihan yang sah dan berkelanjutan.
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah kubu 01 dan 03 percaya terhadap kredibilitas MK yang mengadili perkara sengketa pemilu tersebut, termasuk juga dalam konteks institusional terhadap hakim MK yang ada.
Kita lihat bahwa selama empat bulan terakhir palson 01 dan 03, pun dengan sekelompok orang yang tidak percaya terhadap kredibilitas MK. Terlebih pasca putusan Majelis Kehormatan MK yang memutus memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK setelah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi terkait perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi terhadap batas usia capres-cawapres.
Di sisi lain, mengajukan sengketa pemilu ke MK bukan perkara mudah. Seperti uraian di atas, butuh jalan panjang untuk membuktikan apakah pelanggaran pemilu TSM tersebut benar-benar terjadi.