HUKAMANEWS - Di tengah gemuruh digitalisasi dan informasi menyongsong Pemilu dan Pilpres 2024, terpahat cerita unik dari kelompok Milenial dan Generasi Z (Gen Z).
Dalam lorong waktu yang tidak pernah mau menunggu, Milenial dan Gen Z berdiri di persimpangan. Pada satu sisi, ada beban mental yang mereka gendong, sebuah warisan zaman yang tak bisa dielakkan. Di sisi lain, ada kekuatan suara mereka yang mampu mengubah arah politik dan masa depan negeri. Tak salah bila pada perhelatan Pemilu dan Pilpres 2024 kali ini, keberadaan mereka jadi rebutan.
Berikut ini analisis politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dengan tema Gen Z, Pilpres 2024, dan Politik yang Berkeadaban.
Baca Juga: Bisikan Syahrul Yasin Limpo Kepada Pengacaranya Terkait Penetapan Firli Bahuri sebagai Tersangka
Tulisan ini menjadi menarik karena mengaitkan fenomena Pemilu dan Pilpres 2024 dengan gaya komunikasi para elite pendukung para capres-cawapres dan karakter Milenial – Gen Z yang unik dalam kontestasi pesta demokrasi yang sebentar lagi dihelat.
Sejarah menunjukkan bahwa pemuda selalu berada di garis depan perubahan sosial dan politik.
Dalam konteks Pemilu dan Pilpres 2024, merujuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 113 juta pemilih atau 56,45 persen dari kelompok milenial dan Gen Z. Jika dirinci, milenial sebanyak 66,8 juta sementara Gen Z sebesar 46,8 juta.
Generasi muda sekarang juga tentu berbeda dibanding 10-20 tahun lalu dalam menyaring pilihan calon presiden serta isu yang mereka anggap patut diseriusi.
Berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 2022, kaum milenial dan gen Z saat ini sangat peduli dengan isu korupsi, lingkungan dan kesejahteraan. Pengalaman memimpin kandidat presiden jadi indikator penting bagi mereka, sementara kemampuan retorika calon pemimpin berada di nomor sekian.
Masuk ke variabel kompetensi calon presiden di 2024, hasil survei CSIS menyatakan ada tiga yang menjadi perhatian generasi muda. Di antaranya mampu membuat perubahan (28,7 persen), bisa memimpin saat krisis (21 persen) dan inovatif dalam menerbitkan kebijakan (14,8 persen).
Generasi muda mengikuti perkembangan di dalam dan luar negeri. Mereka tahu bahwa krisis bisa saja terjadi di masa depan, sehingga menganggap presiden berikutnya harus punya tiga kompetensi tadi.
Sementara itu, kompetensi retorika atau komunikasi publik menjadi tidak penting. Hanya 0,3 persen dalam survei yang dilakukan CSIS. Kemampuan membuat kebijakan populis pun tidak diminati generasi muda dalam mencari calon presiden.