Evaluasi Pilkada Langsung dan Tidak Langsung, Membaca Logika Demokrasi Pasal 18 UUD 1945

photo author
- Selasa, 17 Desember 2024 | 16:48 WIB
Ilustrasi. Wacana Pilkada tidak langsung mengemuka. Pengamat menyebut Pilkada tak langsung tidak menyalahi konstitusi
Ilustrasi. Wacana Pilkada tidak langsung mengemuka. Pengamat menyebut Pilkada tak langsung tidak menyalahi konstitusi

HUKAMANEWS - Pemilihan kepala daerah, baik bupati, walikota, maupun gubernur, kembali menjadi bahan perdebatan di tengah dinamika politik Indonesia. Ini menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang melontarkan wacana pemilihan kepala daerah secara tak langsung melalui DPRD. 

Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya menyebut wacana ini tidak menyalahi  konstitusi. Sebab, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang terpenting adalah prinsip demokratis itu sendiri, bukan metode teknis pemilihannya. Lebih dari itu, bagi Pieter, keberanian untuk mengevaluasi sistem yang berjalan adalah kunci untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan berkeadilan.

Berikut ini catatan lengkapnya.

*** 

DALAM perjalanan reformasi yang sudah berlangsung selama 26 tahun, evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia menjadi hal yang mendesak. Salah satu sorotan penting adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik itu bupati, wali kota, maupun gubernur. Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung menjadi isu krusial dalam konteks demokrasi dan konstitusi. 

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Namun, yang menjadi menarik adalah penjelasan eksplisit di dalam pasal tersebut tidak menyebutkan secara spesifik bahwa pemilihan harus dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Frasa “dipilih secara demokratis” dalam konstitusi ini menyisakan ruang interpretasi yang lebih fleksibel.

Baca Juga: Kaleidoskop 2024: 10 Pejabat Indonesia yang Tersandung Kasus di Tahun 2024, Dari Kaesang hingga Tom Lembong 

Demokrasi itu sendiri, jika kita kaji lebih dalam, memiliki dua pendekatan utama: demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung berarti rakyat secara langsung memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Sementara demokrasi tidak langsung memberikan perwakilan kepada lembaga tertentu, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau sistem electoral college, untuk memilih kepala daerah. 

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait kemungkinan kembalinya pemilihan kepala daerah melalui DPRD pun tidak bisa langsung dianggap melanggar konstitusi. Mengacu pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil perubahan kedua pada tahun 2000, pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme yang tetap demokratis, baik langsung maupun tidak langsung. 

Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden, yang secara tegas diatur dalam konstitusi bahwa harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Konteks ini menunjukkan bahwa sistem pemilihan kepala daerah memberikan fleksibilitas yang lebih luas dibandingkan pemilihan presiden. Artinya, kembali ke pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945.

 Baca Juga: Pengacara Kasus Vina Cirebon Pingsan di Lokasi Saat Mahkamah Agung Tolak PK 7 Terpidana, dan Hukuman Seumur Hidup Tetap Berlaku

Namun, di balik fleksibilitas ini, evaluasi terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi semakin penting. Pilkada langsung yang diterapkan sejak era reformasi membawa dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, pilkada langsung memberikan ruang partisipasi rakyat yang lebih besar dan mendekatkan pemimpin daerah dengan konstituennya. Namun di sisi lain, biaya politik yang tinggi dalam pilkada langsung sering menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi dan politik uang. 

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Fenomena korupsi yang terjadi di banyak daerah menjadi bukti nyata dari dampak buruk biaya politik yang tidak terkendali. Elite-elite politik daerah yang lahir dari pilkada langsung tak jarang menyalahgunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal politik yang mereka keluarkan saat kampanye. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang diambil lebih berpihak kepada kepentingan elite politik, bukan kepentingan rakyat. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X