HUKAMANEWS – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menuduh aparat penegak hukum berada di bawah kendali kekuasaan dan digunakan untuk menekan pihak tertentu demi kepentingan politik. Ia menyebut bahwa "Partai Coklat" dimainkan dalam Pilkada di berbagai daerah seperti Sulawesi Utara, Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Dus, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, merekomendasikan agar Polri tidak lagi berada langsung di bawah presiden, melainkan di bawah Panglima TNI atau Kemendagri. Menurutnya, hal ini akan mencegah intervensi Polri dalam proses politik dan memastikan fokus mereka pada tugas pengamanan masyarakat.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C. Zulkifli, SH., MH., mempunyai pandangan lain terhadap usulan ini. Dalam catatan analisis politiknya, Pieter justru mencium upaya dari elite politik PDIP untuk membenturkan institusi Polri dengan Presiden Prabowo. Pieter juga menganggap, usulan tersebut tak lebih dari upaya penghasutan publik dan provokasi. Berikut ini catatan lengkapnya:
***
WACANA untuk menempatkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di bawah kementerian kembali mencuat, memicu perdebatan panjang di kalangan masyarakat, politisi, dan pengamat. Usulan ini dianggap sebagai respons terhadap sejumlah permasalahan internal Polri yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pertanyaan mendasar adalah, apakah langkah ini relevan dan efektif untuk memperbaiki institusi kepolisian di Indonesia?
Sesungguhnya, wacana penempatan Polri di bawah kementerian bukanlah hal baru. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gagasan ini telah menjadi bahan diskusi dan bergulir hingga era Presiden Joko Widodo dan kini Presiden Prabowo Subianto.
Menariknya, ide ini tidak datang dari ruang kosong. Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, berpendapat bahwa penempatan Polri di bawah kementerian akan mengurangi beban presiden, menciptakan tata kelola yang lebih baik, dan meningkatkan mekanisme pengawasan melalui struktur kementerian. Pengamat juga menyebut bahwa posisi Polri saat ini rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama dalam penyelenggaraan pilkada.
Agus Widjojo, dalam analisisnya, menekankan pentingnya check and balance yang lebih efektif, sementara Bambang Rukminto dari Institute for Security Strategic Studies (ISESS) menilai bahwa penempatan Polri di bawah kementerian dapat membatasi kecenderungan institusi ini menjadi alat politik kekuasaan.
Sejalan dengan pemikiran Agus dan Bambang, Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, menyatakan bahwa Polri sebaiknya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan netralitas, khususnya dalam proses politik seperti Pilkada.
Namun, usulan ini dianggap oleh banyak pihak sebagai ancaman terhadap reformasi institusi kepolisian yang sudah dirintis sejak era reformasi. Banyak yang khawatir bahwa penempatan Polri di bawah kementerian justru akan memperlemah profesionalisme institusi ini dan meningkatkan risiko intervensi politik.
Dalam sejarahnya, penempatan Polri di bawah kementerian sempat terjadi, namun terbukti menciptakan dualisme fungsi dan rawan manipulasi politik. Bahkan, pada masa Orde Baru, kedudukan Polri di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan sering kali digunakan untuk memperkuat kekuasaan.
Krisis Moneter tahun 1997 yang berkembang menjadi krisis ekonomi, melahirkan gejolak. Era reformasi menyebabkan maraknya tuntutan masyarakat agar Polri memisahkan diri dari ABRI, dengan harapan agar Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri.
Artikel Terkait
Kontradiksi PPN 12 Persen dan Janji Prabowo Makmurkan Rakyat Indonesia
Tantangan Independensi Pimpinan Baru KPK di Tengah Kepercayaan Publik Memudar dan Pergeseran Lanskap Pemberantasan Korupsi
Paradoks Rencana Kenaikan PPN 12 Persen VS Obral Ampunan Pendosa Pajak
Negara Tidak Akan Pernah Maju Jika Tidak Bijaksana dan Adil Terhadap Kepentingan Rakyat: Sebuah Refleksi atas Kondisi Aktual Indonesia
Putusan MK Perkuat KPK Tangani Korupsi Militer: Tantangan Besar bagi Pemerintahan Prabowo Subianto