HUKAMANEWS - Pemilihan kepala daerah, baik bupati, walikota, maupun gubernur, kembali menjadi bahan perdebatan di tengah dinamika politik Indonesia. Ini menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang melontarkan wacana pemilihan kepala daerah secara tak langsung melalui DPRD.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya menyebut wacana ini tidak menyalahi konstitusi. Sebab, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang terpenting adalah prinsip demokratis itu sendiri, bukan metode teknis pemilihannya. Lebih dari itu, bagi Pieter, keberanian untuk mengevaluasi sistem yang berjalan adalah kunci untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan berkeadilan.
Berikut ini catatan lengkapnya.
***
DALAM perjalanan reformasi yang sudah berlangsung selama 26 tahun, evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia menjadi hal yang mendesak. Salah satu sorotan penting adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik itu bupati, wali kota, maupun gubernur. Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung menjadi isu krusial dalam konteks demokrasi dan konstitusi.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Namun, yang menjadi menarik adalah penjelasan eksplisit di dalam pasal tersebut tidak menyebutkan secara spesifik bahwa pemilihan harus dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Frasa “dipilih secara demokratis” dalam konstitusi ini menyisakan ruang interpretasi yang lebih fleksibel.
Demokrasi itu sendiri, jika kita kaji lebih dalam, memiliki dua pendekatan utama: demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung berarti rakyat secara langsung memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Sementara demokrasi tidak langsung memberikan perwakilan kepada lembaga tertentu, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau sistem electoral college, untuk memilih kepala daerah.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait kemungkinan kembalinya pemilihan kepala daerah melalui DPRD pun tidak bisa langsung dianggap melanggar konstitusi. Mengacu pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil perubahan kedua pada tahun 2000, pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme yang tetap demokratis, baik langsung maupun tidak langsung.
Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden, yang secara tegas diatur dalam konstitusi bahwa harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Konteks ini menunjukkan bahwa sistem pemilihan kepala daerah memberikan fleksibilitas yang lebih luas dibandingkan pemilihan presiden. Artinya, kembali ke pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, di balik fleksibilitas ini, evaluasi terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi semakin penting. Pilkada langsung yang diterapkan sejak era reformasi membawa dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, pilkada langsung memberikan ruang partisipasi rakyat yang lebih besar dan mendekatkan pemimpin daerah dengan konstituennya. Namun di sisi lain, biaya politik yang tinggi dalam pilkada langsung sering menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi dan politik uang.
Fenomena korupsi yang terjadi di banyak daerah menjadi bukti nyata dari dampak buruk biaya politik yang tidak terkendali. Elite-elite politik daerah yang lahir dari pilkada langsung tak jarang menyalahgunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal politik yang mereka keluarkan saat kampanye. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang diambil lebih berpihak kepada kepentingan elite politik, bukan kepentingan rakyat.
Artikel Terkait
Negara Tidak Akan Pernah Maju Jika Tidak Bijaksana dan Adil Terhadap Kepentingan Rakyat: Sebuah Refleksi atas Kondisi Aktual Indonesia
Putusan MK Perkuat KPK Tangani Korupsi Militer: Tantangan Besar bagi Pemerintahan Prabowo Subianto
Parcok, PDIP, dan Upaya Membenturkan Institusi Polri dengan Prabowo
Hari Antikorupsi Sedunia, Momen Elite Politik Membuktikan Integritas dan Keberanian Melawan Korupsi
Pilkada, Mahar Politik, dan Mafia Demokrasi