RUU Perampasan Aset: Perdebatan Diksi, Hambatan Pengesahan, dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

photo author
- Kamis, 7 November 2024 | 18:45 WIB
Ilustrasi. RUU Perampasan Aset, setelah lebih dari satu dekade terkatung-katung di DPR, kini muncul polemik baru soal diksi 'perampasan' dan  'pemulihan'
Ilustrasi. RUU Perampasan Aset, setelah lebih dari satu dekade terkatung-katung di DPR, kini muncul polemik baru soal diksi 'perampasan' dan 'pemulihan'

 Baca Juga: Prabowo Tegaskan, Tidak Ada Toleransi untuk Judi Online, Narkoba dan Korupsi, Nggak Ada Lagi Kongkalikong di Kabinet

Illicit Enrichment: Aspek Penting yang Terabaikan? 

Illicit enrichment atau peningkatan kekayaan ilegal merupakan elemen penting dalam pemberantasan korupsi. UNCAC sendiri mengamanatkan pengaturan soal illicit enrichment yang memungkinkan penyitaan aset yang diperoleh secara ilegal. Tanpa elemen ini, RUU Perampasan Aset hanya akan fokus pada pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta tersebut. 

Dalam pandangan penulis, hal ini bukan sekadar masalah terminologi, tetapi juga mencerminkan strategi optimal dalam pemberantasan korupsi. Urgensi perampasan aset bukan sekadar masalah kepentingan-kepentingan dalam konteks penegakan hukum, contohnya penyitaan perampasan, tapi lebih kepada UNCAC yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi yang optimal.

Penggantian diksi “perampasan” menjadi “pemulihan” bisa mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan RUU tersebut. Karena, perampasan aset ilegal bukan sekadar soal pemulihan atau pengembalian aset, melainkan bagian integral dari upaya memberantas akar korupsi di Indonesia. Pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan penggunaan uang kartal dan penyitaan aset yang tidak wajar adalah langkah konkret yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Sehingga, jika hanya berfokus pada istilah, RUU ini bisa kehilangan esensinya.

 

Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Sejarah Panjang Dibalut Proses yang Berlarut-larut 

RUU Perampasan Aset bukanlah hal baru dalam pembahasan legislasi Indonesia. Diinisiasi sejak 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU ini mengalami bongkar pasang draf beberapa kali. Mulai dari draf awal 2012, kemudian revisi pada 2019, hingga draf terbaru di 2023, perubahan terus dilakukan, tetapi pengesahan tak kunjung tiba. Isu-isu seperti perampasan aset tanpa proses pidana dan penghapusan hak gugat menjadi kontroversi yang tak kunjung tuntas.

Baca Juga: Denny Cagur Diperiksa Terkait Judi Online, Ngaku Tak Tahu Padahal Komedian Ini Ada di Daftar 27 Artis yang Dipanggil Bareskrim 

Presiden Joko Widodo telah beberapa kali mendorong agar DPR mempercepat pengesahan RUU ini. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menekankan bahwa RUU Perampasan Aset sangat penting untuk mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Sayangnya, meski menjadi prioritas, hingga sidang paripurna terakhir DPR pada Februari 2024, pembahasan RUU ini kembali kandas. 

RUU Perampasan Aset menjadi gambaran kompleksitas penegakan hukum di Indonesia. Hambatan legislasi, perdebatan diksi, dan isu-isu substansial terkait pemberantasan korupsi membuat publik bertanya-tanya: apakah ada kemauan politik yang cukup kuat untuk meloloskan RUU ini? Atau, mungkinkah tarik-menarik kepentingan justru meredam urgensi dari sebuah kebijakan yang diharapkan mampu menekan laju korupsi? 

Bagi masyarakat, RUU ini diharapkan menjadi alat efektif untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara negara. Publik juga berharap agar RUU Perampasan Aset ini segera disahkan tanpa lagi terjebak dalam polemik diksi semata. Sebab, apa pun istilahnya, yang terpenting adalah keberanian dan komitmen nyata untuk menindak korupsi hingga ke akar-akarnya, demi Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari praktik korupsi.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X