Illicit Enrichment: Aspek Penting yang Terabaikan?
Illicit enrichment atau peningkatan kekayaan ilegal merupakan elemen penting dalam pemberantasan korupsi. UNCAC sendiri mengamanatkan pengaturan soal illicit enrichment yang memungkinkan penyitaan aset yang diperoleh secara ilegal. Tanpa elemen ini, RUU Perampasan Aset hanya akan fokus pada pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta tersebut.
Dalam pandangan penulis, hal ini bukan sekadar masalah terminologi, tetapi juga mencerminkan strategi optimal dalam pemberantasan korupsi. Urgensi perampasan aset bukan sekadar masalah kepentingan-kepentingan dalam konteks penegakan hukum, contohnya penyitaan perampasan, tapi lebih kepada UNCAC yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi yang optimal.
Penggantian diksi “perampasan” menjadi “pemulihan” bisa mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan RUU tersebut. Karena, perampasan aset ilegal bukan sekadar soal pemulihan atau pengembalian aset, melainkan bagian integral dari upaya memberantas akar korupsi di Indonesia. Pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan penggunaan uang kartal dan penyitaan aset yang tidak wajar adalah langkah konkret yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Sehingga, jika hanya berfokus pada istilah, RUU ini bisa kehilangan esensinya.
Sejarah Panjang Dibalut Proses yang Berlarut-larut
RUU Perampasan Aset bukanlah hal baru dalam pembahasan legislasi Indonesia. Diinisiasi sejak 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU ini mengalami bongkar pasang draf beberapa kali. Mulai dari draf awal 2012, kemudian revisi pada 2019, hingga draf terbaru di 2023, perubahan terus dilakukan, tetapi pengesahan tak kunjung tiba. Isu-isu seperti perampasan aset tanpa proses pidana dan penghapusan hak gugat menjadi kontroversi yang tak kunjung tuntas.
Presiden Joko Widodo telah beberapa kali mendorong agar DPR mempercepat pengesahan RUU ini. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menekankan bahwa RUU Perampasan Aset sangat penting untuk mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Sayangnya, meski menjadi prioritas, hingga sidang paripurna terakhir DPR pada Februari 2024, pembahasan RUU ini kembali kandas.
RUU Perampasan Aset menjadi gambaran kompleksitas penegakan hukum di Indonesia. Hambatan legislasi, perdebatan diksi, dan isu-isu substansial terkait pemberantasan korupsi membuat publik bertanya-tanya: apakah ada kemauan politik yang cukup kuat untuk meloloskan RUU ini? Atau, mungkinkah tarik-menarik kepentingan justru meredam urgensi dari sebuah kebijakan yang diharapkan mampu menekan laju korupsi?
Bagi masyarakat, RUU ini diharapkan menjadi alat efektif untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara negara. Publik juga berharap agar RUU Perampasan Aset ini segera disahkan tanpa lagi terjebak dalam polemik diksi semata. Sebab, apa pun istilahnya, yang terpenting adalah keberanian dan komitmen nyata untuk menindak korupsi hingga ke akar-akarnya, demi Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari praktik korupsi.***
Artikel Terkait
Mogok Hakim dan Krisis Keadilan: Elite Tak Peduli, Rakyat Jadi Korban
Menanti Zaken Kabinet ala Prabowo-Gibran, Melawan Korupsi Menjadi Misi Berat Pemerintahan Baru
Quo Vadis Etika Negara Demokrasi, Membaca Strategi Politik Nasdem dan PDIP di Kabinet Prabowo-Gibran
Ketika Politik Transaksional Menjadi Alasan Terbentuknya Kabinet Prabowo-Gibran, Bagaimana Potret Indonesia ke Depan?
Harap-Harap Cemas Menanti 100 Hari Kinerja Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
Apresiasi Kinerja Kejaksaan Agung, Pilar Penegak Keadilan dan Harapan Masyarakat
Tantangan Generasi Emas, Meluaskan Perspektif dan Memahami Geopolitik