“Kami ingin tahu, apakah kebocoran itu bersumber dari layanan cloud yang sama atau dari pengadaan berbeda,” tambahnya.
Google Cloud sendiri digunakan sebagai basis penyimpanan data Platform Merdeka Mengajar (PMM), sistem yang menopang pelaksanaan pembelajaran daring selama pandemi.
Pada masanya, kebijakan ini sempat dipuji karena mempercepat digitalisasi pendidikan, meski kini sisi gelapnya mulai terkuak.
Penggunaan cloud berskala besar, pengadaan Chromebook, hingga distribusi kuota internet untuk siswa dan guru menjadi rangkaian dari proyek digitalisasi yang kini turut ditelusuri Kejaksaan Agung.
Namun KPK menegaskan bahwa fokus mereka saat ini hanya pada aspek penyimpanan data, bukan perangkat keras maupun paket data.
“Betul, pengadaan itu kompleks. Tapi kami pecah berdasarkan komponennya. Untuk sekarang, kami fokus ke Google Cloud-nya dulu,” tegas Asep.
Netizen ramai menanggapi isu ini di media sosial, beberapa menyayangkan bila niat baik mendigitalisasi pendidikan justru disusupi kepentingan gelap.
"Kalau benar ada korupsi, berarti digitalisasi ini bukan untuk anak-anak kita, tapi buat kantong sendiri," tulis akun X @educheckID.
Publik berharap agar KPK tidak hanya mengejar pelaku teknis, tetapi juga menelusuri alur keputusan yang melibatkan pejabat tinggi.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari UI, Indriati Laksmi, menilai kasus ini bisa menjadi pelajaran penting dalam transparansi pengadaan digital.
"Teknologi bukan berarti bebas dari pengawasan. Justru karena tidak terlihat, harusnya lebih diawasi," ujarnya.
Pemeriksaan terhadap Nadiem Makarim menjadi titik krusial dalam penyelidikan KPK atas dugaan korupsi pengadaan Google Cloud.
Dengan nilai proyek yang besar dan menyangkut data pendidikan nasional, publik menaruh harapan tinggi pada KPK untuk membongkar seluruh rantai proses secara transparan.