Menurut Densus 88, sejak awal tahun pelaku sudah melakukan penelusuran daring tentang kekerasan ekstrem.
Penelusuran itu dipicu oleh rasa tertindas, dendam terhadap perlakuan tertentu, dan perasaan tidak punya tempat bercerita.
Fenomena “copycat behavior” seperti ini disebut semakin sering terjadi pada remaja yang rentan dan kesepian.
KPAI: Pendampingan Anak dan Evaluasi Sekolah
Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, menegaskan bahwa sebagai ABH, pelaku tetap berhak mendapatkan pendampingan hukum dan perlakuan yang berorientasi pada kepentingan terbaik anak.
Ia menekankan bahwa proses penyidikan hingga persidangan nanti tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.
KPAI juga menyoroti perlunya sekolah memperkuat ekosistem sekolah ramah anak.
Menurut Margaret, kasus ini menjadi pengingat bahwa kondisi kesehatan mental pelajar harus menjadi perhatian utama, termasuk keberadaan tim pencegahan kekerasan di sekolah.
Konteks Lebih Luas: Lonjakan Kesepian di Kalangan Remaja
Kasus ini menyentuh isu yang lebih besar: meningkatnya angka kesepian pada remaja Indonesia.
Sejumlah psikolog mencatat kenaikan kasus tekanan emosional sejak pandemi, ditambah kebiasaan digital yang membuat banyak remaja merasa terhubung secara virtual tetapi justru terisolasi secara emosional.
Pengamat pendidikan menilai sekolah perlu meningkatkan kualitas komunikasi antara guru, konselor, dan murid agar red flags dapat dideteksi lebih cepat.
Respon Publik: Empati, Kepedulian, dan Kekhawatiran
Artikel Terkait
Densus 88 Temukan Tujuh Peledak di SMAN 72, Investigasi Meluas hingga Aktivitas Medsos Terduga Pelaku
Tersangka Chromebook Akhirnya Diserahkan ke JPU, Eks Mendikbud Nadiem Datang Bergiliran, Satu Pejabat Masih Buron!
Nadiem Makarim Dilimpahkan ke Jaksa, Franka Franklin Setia Dampingi, Publik Soroti Sikap Tenangnya di Kejari Jakpus
Buruh Bekasi Desak Kenaikan Upah 10,5 Persen, ITUC Titip Pesan untuk Presiden Prabowo
Proyek Rp231 Miliar Jadi Sorotan, KPK Siap Langkah Besar Usai Sidang Kasus Jalan Sumut yang Seret Nama Bobby Nasution