Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, menekankan pentingnya menjadikan kelompok marjinal—perempuan, masyarakat adat, dan komunitas lokal—sebagai bagian dari pengambil keputusan.
“Keadilan ekologis tak bisa lahir dari ruang elitis. Harus ada desentralisasi dan partisipasi,” ujarnya dalam webinar Draw the Line yang digelar pada September 2025.
Sementara itu, Li Edi, tokoh lintas agama yang hadir dalam diskusi tersebut, menyoroti peran besar lembaga keagamaan. Menurutnya, gereja, masjid, vihara, dan pura memiliki kekuatan moral untuk menumbuhkan etika lingkungan di tengah umat.
“Dalam Buddhisme, ada doa: sabbe sattha bhavantu sukhi tata — semoga semua makhluk berbahagia. Prinsip ini universal dan relevan untuk menumbuhkan empati terhadap bumi,” katanya.
Baca Juga: DPR dan Mutu Rendah Legislasi
Namun, ia menambahkan, khutbah dan ceramah masih sering berhenti di tataran dogma, belum menyentuh isu ekologi secara nyata.
Charles, pembicara lain dalam forum itu, menegaskan bahwa transisi energi harus berbasis komunitas. Tanpa keterlibatan rakyat, katanya, tidak akan ada “pembebasan ekologis” yang sejati.
“Iman harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar doa di mimbar,” ujarnya.
Gen Z dan Harapan Baru Transisi Energi
Bagi Rayyan dan banyak anggota Gen Z lainnya, isu transisi energi bukan sekadar wacana teknokratis. Ia adalah persoalan masa depan. Mereka tumbuh di era bencana iklim, banjir ekstrem, udara kotor, dan suhu yang terus melonjak.
“Kami, generasi muda, tidak ingin mewarisi bumi yang sekarat,” tulisnya dalam penutup refleksinya.
Baca Juga: 45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus
“Sudah saatnya semua pihak, terutama para pengambil keputusan, menjadikan keberlanjutan sebagai fondasi pembangunan. Bukan pilihan, melainkan kewajiban.”
Pesan sederhana itu menjadi gema dari semangat Draw the Line—menandai batas antara eksploitasi dan tanggung jawab, antara keuntungan jangka pendek dan kehidupan yang layak bagi generasi mendatang.***