Draw the Line: Seruan Lintas Iman untuk Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30

photo author
- Minggu, 21 September 2025 | 20:51 WIB
 Instagram Live @greenfaith.id "Suara Lintas Iman untuk Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP 30, Kamis 18 September 2025
Instagram Live @greenfaith.id "Suara Lintas Iman untuk Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP 30, Kamis 18 September 2025

 

HUKAMANEWS GreenFaith– Krisis iklim kini tak lagi sebatas laporan para ilmuwan atau isu teknokratis di ruang konferensi global. Udara yang kian sesak, air bersih yang makin langka, hingga bencana yang datang tanpa jeda menegaskan bahwa ancaman ini nyata dan dekat. Di tengah kondisi itu, suara lintas iman menyerukan transisi energi berkeadilan sebagai panggilan moral umat beragama.

Sejalan dengan hal tersebut, GreenFaith Indonesia menggelar Diskusi Publik Lintas Iman bertajuk “Reorientasi Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30 melalui Instagram Live pada Kamis (18/9/2025).

Tiga tokoh lintas agama hadir sebagai pembicara: Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia; Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang; dan Romo Charles Lamaberaf, SVD., M.Sc, dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, NTT.

Baca Juga: Dari Konsultan Politik ke Komisaris Pertamina, Jejak Karier Hasan Nasbi yang Jadi Sorotan

Krisis Iklim sebagai Persoalan Moral

Hening Parlan menegaskan, krisis iklim bukan hanya perkara teknis, melainkan juga persoalan moral dan kemanusiaan. Ia memperkenalkan gagasan Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang baru diterbitkan dalam bentuk buku.

“Energi yang kita gunakan hari ini mayoritas masih bersumber dari fosil seperti batubara dan minyak bumi, yang terbatas sekaligus merusak lingkungan. Dari perspektif Islam, jika ada kerusakan, kita wajib bertobat dan memperbaikinya. Itu artinya kita harus bertransisi menuju energi yang lebih baik, yakni energi matahari, angin, dan air, yang disebut sebagai energi surga,” ujarnya.

Hening menambahkan, transisi energi tidak boleh berhenti di meja perundingan elite. Transisi harus berpihak pada rakyat kecil, karena merekalah yang menyuplai kebutuhan energi, tetapi justru paling banyak menanggung dampaknya, katanya.

Nada serupa disampaikan Dr. Edi Ramawijaya. Ia menilai agama tidak boleh berhenti pada diskursus teologi abstrak, melainkan harus menyentuh kehidupan nyata.

“Agama mampu mendorong kebiasaan kecil yang konsisten—atomic habit—yang berdampak besar bagi keadilan iklim. Energi tidak boleh bersifat elitis. Ia adalah hak dasar semua orang, tanpa memandang strata sosial,” tegasnya.

Baca Juga: Dari Demonstrasi ke Meja Legislasi: RUU Perampasan Aset dan Ujian Moral Elite

Menurut Dr. Edi, bila tata kelola energi hanya berorientasi pada keuntungan, maka masyarakat adat, petani, dan nelayanlah yang selalu menjadi korban.

Sementara itu, Romo Charles Lamaberaf menyoroti ketidakadilan dalam proyek energi terbarukan berskala besar. Ia mencontohkan penolakan masyarakat adat terhadap proyek panas bumi di Flores.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X