Transisi Energi di Mata Gen Z: Saatnya “Draw the Line” Menjelang COP30

photo author
- Rabu, 22 Oktober 2025 | 19:45 WIB
Ilustrasi. Di mata Gen Z, isu transisi energi bukan sekadar wacana teknokratis. Ia adalah persoalan masa depan.
Ilustrasi. Di mata Gen Z, isu transisi energi bukan sekadar wacana teknokratis. Ia adalah persoalan masa depan.

 

HUKAMANEWS GreenFaith— Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan digelar di Belém, Brasil, pada November 2025, suara generasi muda Indonesia kian nyaring menyoroti paradoks di balik ambisi “hijau” negeri ini. Di tengah narasi besar tentang transisi energi dan kendaraan listrik, muncul kegelisahan: benarkah Indonesia sedang bergerak menuju masa depan rendah emisi, atau justru terjebak dalam lingkaran baru ketergantungan pada batu bara?

Ali Rayyan, siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Isan Cendekia Pekalongan sekaligus pengamat lingkungan muda, menulis kritik tajam tentang ironi ini. Ia menyoroti bagaimana hilirisasi nikel, yang sejatinya digadang-gadang sebagai langkah strategis menuju industri kendaraan listrik, masih bergantung pada energi fosil, khususnya batu bara.

“Proses industri nikel yang berbasis batu bara bukanlah solusi, melainkan bentuk stagnasi baru,” ungkap Rayyan dalam tulisannya yang diterima redaksi HUKAMANEWS.COM.

“Bagaimana kita bisa bicara transisi energi, jika sumbernya masih menambah polusi dan merusak lingkungan?”

Baca Juga: Satu Tahun Prabowo–Gibran: Antara Janji, Diplomasi, dan Cermin Realitas Rakyat

Data menunjukkan, operasi berbasis batu bara telah meningkatkan polusi udara dan air, bahkan memicu lonjakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga 1.000 kasus per tahun. Jika tak ada mitigasi, polusi ini diproyeksikan menyebabkan 5.000 kematian dini serta kerugian ekonomi lebih dari 3 juta dolar AS pada 2030. Di wilayah pesisir, logam berat seperti merkuri dan arsenik telah meracuni ekosistem laut dan merembes ke rantai makanan manusia.

Lebih dari sekadar angka, dampak sosialnya juga nyata. Di beberapa pulau sekitar Wawonii, Sulawesi Tenggara, nelayan kehilangan sumber penghidupan akibat pemutihan terumbu karang. Bahkan akses listrik pun, menurut laporan warga, kerap bergantung pada sikap politik mereka terhadap tambang.

“Ketidakadilan lingkungan telah berubah menjadi ketidakadilan sosial,” tulis Rayyan.

“Sudah waktunya kita menggambar garis batas—draw the line—antara kepentingan ekonomi dan kelestarian hidup.”

Baca Juga: Skandal Jet Pribadi KPU, DPR Siap Bongkar Dugaan Pemborosan Dana Publik dari Balik Langit Mewah

Ali Rayyan, Siswa MAN ICP, AFS Finland Returnee YP 24/25
Ali Rayyan, Siswa MAN ICP, AFS Finland Returnee YP 24/25

Suara Lintas Iman dan Jalan Menuju Keadilan Energi

Kegelisahan Rayyan sejalan dengan pandangan para aktivis GreenFaith Indonesia, sebuah gerakan lintas iman yang menyoroti krisis iklim sebagai persoalan moral dan spiritual, bukan semata teknis sains.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X